Nusron Ungkap Baru 3,8 Juta Ha Tanah Adat yang Teridentifikasi

Nusron Ungkap Baru 3,8 Juta Ha Tanah Adat yang Teridentifikasi

Retno Ayuningrum - detikFinance
Selasa, 31 Des 2024 16:42 WIB
Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid
Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid/Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN
Jakarta -

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat baru 3,8 juta hektare (ha) tanah adat yang teridentifikasi. Angka tersebut masih jauh dari data Konsorsium Pembaruan Agraria yang mencapai 8-9 juta ha.

"Sampai tahun ini, hasil identifikasi dan inventarisasi tanah ulayat seluas plus minus 3,8 juta hektare. Ini masih terjadi gap data tanah ulayat, karena kalau kita mengacu kepada Konsorsium Reforma Agraria, maupun data-data dari NGO (Non-Governmental Organization), maupun lembaga-lembaga yang lain yang menyebutkan bahwa tanah ulayat dan adat itu angkanya mencapai 8 juta hektare, dan ini memang terjadi klaim di mana-mana," kata Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (31/12/2024).

Nusron menyebut lahan 8 juta ha tersebut belum teridentifikasi semuanya apakah termasuk Area Penggunaan Lain (APL) atau masuk kawasan hutan. Tak menutup kemungkinan angka tersebut sudah termasuk kawasan hutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bisa jadi yang disampaikan oleh teman-teman dari NGO maupun lembaga-lembaga yang lain yang mengatakan bahwa plus minus tanah ulayat itu mencapai angka 8-9 juta hektare. Kalau itu termasuk hutan bisa jadi angka itu, tapi kalau yang APL saja, yang teridentifikasi di kita ada 3,8 juta hektare," jelas Nusron.

Nusron menyinggung terkait lumbung pangan atau food estate di Papua yang sempat memicu konflik dengan masyarakat adat. Nusron menjelaskan mulanya tanah tersebut tidak bersinggungan dengan milik masyarakat adat setempat.

ADVERTISEMENT

"Pada awalnya diidentifikasi tanah tersebut tidak ada singgungan dengan hak adat. Tapi ketika mau dibuka, sudah mulai menjadi sawah, sudah mulai nampak balang, baru muncullah orang-orang, pihak-pihak tertentu yang kemudian mengklaim, mengatakan bahwa itu adalah hak adat, yang ujung-ujungnya harus minta persetujuan hak adat, dan ujung-ujungnya minta ganti rugi dan sebagainya. Padahal di dalam catatannya, semula adalah tidak tercatat di dalam hak adat," jelas Nusron.

Hal tersebut juga terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Saat pemerintah telah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan, muncul pihak-pihak tertentu yang mengklaim hak adat.

Untuk itu, Nusron mengatakan pendaftaran tanah adat penting. Dia akan terus melanjutkan program tersebut dan melakukan pendekatan dengan kepala suku.

"Mau ditanam, apakah untuk kepentingan kelapa sawit, apakah untuk kepentingan hutan, apakah untuk kepentingan tanaman yang lain. Itu awalnya nggak ada hak adatnya, tapi begitu sudah mulai, muncul itu klaim-klaim dari pihak tertentu yang mengatakan bahwa itu adalah hak adat. Kita terus melakukan pendekatan kepala suku pemangku adat untuk segera mencatatkan hak tanah adatnya," imbuh Nusron.

(ara/ara)

Hide Ads