Kecelakaan maut yang menewaskan 8 orang terjadi di Gerbang Tol Ciawi, Jalan Tol Jagorawi, Jawa Barat. Insiden ini dinilai harus menjadi perhatian besar pemerintah dalam rangka penataan keamanan jalan di Indonesia.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai kecelakaan yang terjadi di Gerbang Tol Ciawi harus menjadi koreksi dan evaluasi bagi semua pihak. Salah satu yang harus dievaluasi adalah penggunaan kartu e-Toll.
Sebab, banyaknya korban dalam kecelakaan yang terjadi di insiden tersebut terjadi karena ada penumpukan atau antrean kendaraan di pintu tol. Antrean panjang ini bisa jadi muncul karena salah satu pengendara mobil yang terkendala membayar tol dengan kartu e-Toll.
Semua pihak menurutnya tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak saja seperti sopir truk yang mengalami rem blong yang kemudian menabrak semua mobil yang antre di pintu tol.
"Baik itu Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, Korlantas, pihak Jasa Marga, serta dan para pengemudi kendaraan harus bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa tersebut," beber Agus dalam keterangannya, Jumat (7/2/2025).
Di balik terjadinya rem blong truk yang dikendarai sopir truk, menurut Agus, korban kecelakaan menjadi lebih banyak karena terjadi antrean cukup panjang di jalan tol. Hal ini biasanya terjadi apabila kartu tidak cukup saldo atau mesin pembaca kartunya kotor oleh asap knalpot atau debu sehingga sulit melakukan pembacaan.
Selain itu, kecelakaan yang terjadi itu juga disebabkan masalah sistem gerbang jalan tol yang belum efektif. Saat ini sebetulnya sudah ada sistem yang dapat membuat alur masuk jalan tol bisa lebih efektif yaitu sistem MLFF menggunakan teknologi Global Navigation Satelit System (GNSS) dari Hongaria.
Sistem MLFF dapat membuat pengguna jalan masuk tol tanpa harus berhenti. Masalahnya sampai saat ini sistem ini tak kunjung jelas realisasinya. Saat ini Jasa Marga masih menggunakan sistem tap in dengan kartu di jalan tol yang membutuhkan waktu, sehingga saat mobil akan masuk ke jalan tol bisa terjadi antrean.
"Dan JM (Jasa Marga) juga menggunakan iflow tanpa harus tap kartu ke mesin hanya saja masih terbatas di Jabodetabek. Tapi, upaya JM dihentikan Menteri PU karena mau masuk MLFF Hongaria," beber Agus.
Agus juga menyarankan adanya emergency exit di pinggir jalan tol untuk menghentikan truk atau kendaraan lain yang remnya blong. Ini dibutuhkan khususnya di jalan tol yang berbukit turun naik belok seperti di Tol Cipularang, hingga Tol Malang Pandaan di jaringan Tol Trans Jawa.
"Emergency exit yang ada salah desain karena sudut belok ya terlalu tajam sehingga berbahaya dan menyulitkan sopir truk ketika gagal rem," jelas Agus.
Penanganan Truk Obesitas
Sementara itu, Koordinator Indonesia Toll Road Watch (ITRW) Deddy Herlambang menilai kurang baiknya tata kelola transportasi barang di Indonesia jadi masalahnya. Khususnya, pembiaran penggunaan truk obesitas atau over dimension over load (ODOL) yang masih terjadi.
Masalahnya lagi, setiap truk ODOL mengalami masalah, yang kemungkinan jadi kambing hitam dalam kasus itu adalah sopir dan sarana truknya saja. Tapi masih ada pemangku kepentingan lain yang tidak pernah dipermasalahkan.
"Yang selalu jadi kambing hitam sopir dan sarana truknya yang remnya gagal, stakeholder lain tidak tersentuh padahal semuanya juga terlibat. Padahal, stakeholder pemilik truk atau pengusaha angkutan, pemilik barang dan bahkan Pemerintah sendiri juga bisa dianggap salah karena abai dalam keselamatan jalan," papar Deddy dalam keterangannya.
"Laka truk di Tol Ciawi, 8 meninggal dunia, sebuah bukti bahwa Pemerintah tidak pernah serius menekan zero ODOL karena laka truk ODOL setiap tahun bertambah," tegasnya.
Dia menekankan seharusnya aspek keselamatan baik di Kemenhub dan Kementerian PU tidak bisa ditawar apapun dengan berbagai alasan, apalagi dalihnya efisiensi anggaran.
"Kita sudah krisis keselamatan karena data 2024, data Korlantas 4 orang tewas setiap 1 jam kecelakaan di jalan belum kita hitung yang luka berat/ringan baik cacat sementara atau cacat selamanya," sebut Deddy.
(hal/fdl)