Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur & Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bicara pentingnya pembangunan hunian yang terhubung dengan layanan transportasi atau biasa dikenal transit oriented development (TOD). Menurutnya, pembangunan hunian dengan konsep TOD akan menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Penekanan ini diperlukan sebagai langkah Indonesia menuju nol emisi karbon. Artinya, pembangunan infrastruktur dan transisi energi juga harus berkembang bersama.
"Di bidang perumahan, pembangunan transit oriented development menghubungkan hunian terjangkau dengan transportasi umum, mengurangi permintaan energi dan meningkatkan kualitas hidup. Pendekatan terpadu ini menegaskan prinsip penting bahwa transisi energi dan infrastruktur berkelanjutan harus berkembang bersama," kata AHY dalam PYC International Energy Conference 2025 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengembangan TOD ini juga telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029). Rencana itu menempatkan keberlanjutan sebagai inti dari perencanaan infrastruktur dan investasi publik.
AHY menyebut saat ini sebenarnya perkembangan infrastruktur yang mendukung transisi energi telah berkembang pesat. Ia menyebut, di bidang transportasi, bus listrik mentransformasi mobilitas perkotaan, sementara MRT, LRT, dan kereta berkecepatan tinggi mengurangi emisi dan kemacetan.
"Di bidang maritim dan penerbangan, pelabuhan hijau dan bandara berkelanjutan sedang dikembangkan dengan energi terbarukan dan sistem efisiensi tinggi. Di bidang jalan umum, jalan dan bendungan sekarang dirancang tidak hanya untuk kapasitas, tetapi juga untuk ketahanan iklim," tuturnya.
AHY mengakui persentase energi baru terbarukan yang dicapai Indonesia baru 14% pada 2024. Masih jauh dari target 23% pada 2025. Pemerintah telah menempatkan target untuk Indonesia mencapai nol emisi karbon 2060. Namun, Indonesia memerlukan investasi melebihi US$1 triliun selama 30 tahun ke depan.
Saat ini, Indonesia ingin menuju energi hijau, tetapi saat bersamaan produktivitas listrik masih rendah. Subsidi energi juga masih tinggi hingga mencapai Rp 70 triliun.
"Angka-angka ini bukan sekadar data. Angka-angka ini dipanggil untuk bertindak. Transisi energi bukan lagi sebuah pilihan. Ini adalah kebutuhan ekonomi, sosial, dan geopolitik," pungkasnya.
(ada/ara)