Hal ini dilakukan sebagai antisipasi risiko krisis keuangan. Saat ini, kondisi perekonomian dinilai 'tidak normal' sehingga perlu dibentuk RUU JPSK yang kemudian disahkan menjadi UU JPSK.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, dalam kondisi tidak normal seperti saat ini, diperlukan payung hukum yang jelas seperti RUU JPSK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hadirnya UU JPSK memberi kewenangan pada instansi terkait untuk mengambil kewenangan dalam keadaan tidak normal maupun masalah bank berdampak sistemik dalam rangka memelihara stabilitas sitem keuangan," kata Bambang saat ditemui di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2015).
Dia menjelaskan, ada beberapa poin perbedaan dari pembentukan RUU JPSK di tahun 2013 dibanding dengan 2015 ini.
Yang pertama, kata Bambang, ruang lingkup RUU JPSK yang lama mencakup perbankan, asuransi, dan pasar SBN. Sementara RUU JPSK 2015 hanya perbankan saja.
"Dalam RUU JPSK 2015 hanya perbankan karena sektor perbankan merupakan sendi utama sistem pembayaran yang misalkan bermasalah akan mengancam ekonomi," terang dia.
Poin kedua soal penetapan bank berdampak sistemik ditetapkan oleh KSSK ketika bank mengalami masalah. Sementara pada RUU JPSK 2015 ditetapkan sebelumnya oleh otoritas atau pengawas setelah melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI).
Poin ketiga, meminimalkan pakai dana publik, penanganan bank mengedepankan dengan private solution yakni dengan rencana penyehatan dan pemulihan yang disusun bank dan disetujui OJK.
Kemudian, masalah solvabilitas dalam metode ini disertai dengan penanganan bank oleh LPS yakni pengalihan aset dan kewajiban. Metode ini dinilai lebih efektif dan meminimalkan biaya penanganan bank.
Poin lainnya adalah tidak ada pasal imunitas bagi pengambil kebijakan. Namun, agar para pengambil kebijakan berani mengambil keputusan diusulkan ada pendampingan hukum.
(drk/ang)











































