Sebut saja Jepang. Belum lama ini, bank sentral negeri Sakura tersebut menerapkan suku bunga negatif. Sementara itu, bank sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya di level 0% pada Kamis (10/3/2016) waktu setempat.
Bagaimana tanggapan Bank Indonesia (BI) atas kebijakan ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, stimulus moneter melalui pemangkasan suku bunga acuan dilakukan bank sentral negara-negara maju untuk menggenjot perekonomian mereka. Selama ini, masyarakat di sana cenderung malas melakukan konsumsi.
"Di sana itu yang terjadi bukan inflasi tapi deflasi. Deflasi yang berkepanjangan. Itu malah membuat produsen menjadi tidak semangat untuk melakukan produksi. Sehingga konsumen malah tidak melakukan konsumsinya. Nah, itu yang terjadi di Eropa kemudian Jepang. Sehingga yang mereka lakukan adalah stimulus moneter," jelas dia.
Melalui stimulus moneter tersebut, kata Mirza, ditujukan agar perbankan mau menyalurkan kreditnya untuk mendorong tingkat konsumsi di masyarakat. Tapi permasalahannya di Eropa dan Jepang adalah perbankan mau menyalurkan kredit tetapi permintaan kreditnya tidak terjadi.
"Karena itu tadi, konsumen melihat bahwa harga akan turun terus dan mereka tidak melakukan konsumsi. Dan produsen menjadi tidak berproduksi. Dengan tidak melakukan produksi sehingga tidak memerlukan kredit," paparnya.
Nah situasi tersebut, lanjut Mirza, pengaruhnya terhadap negara emerging market di Asia kembali lagi adalah pasti kepada aliran modal. Karena jika Eropa dan Jepang mempunyai suku bunga negatif, kemudian melonggarkan kebijakan moneter, melakukan stimulus moneter, maka berinvestasi bagi investor pasar modal di sana menjadi kurang menarik. Sehingga kemudian mulai masuk dan akan kembali ke emerging market.
Sementara di Amerika Serikat (AS), tampaknya akan menunda kenaikan suku bunga yang ke-2, tidak terjadi di bulan Maret. Tapi, kemungkinan terjadi di semester II-2016. Bahkan, mungkin saja terjadi di kuartal IV-2016. Maka, tekanan pembelian dolar AS menjadi berkurang. Itu mengapa sekarang Indonesia mengalami capital inflow kembali.
"Tapi tentu ada faktor dalam negeri juga. Faktor dalam negerinya, angka inflasi kita cukup baik, angka neraca pembayaran kita cukup baik, angka rate balance perkiraannya membaik. Kemudian ditambah lagi dengan pemerintah sangat serius melakukan deregulasi berbagai paket untuk sektor riil," jelas dia.
Mirza menambahkan, deregulasi pemerintah ini dalam rangka menggairahkan sektor riil, supaya terjadi permintaan kredit. Dan di saat bersamaan BI melakukan pelonggaran moneter, melakukan penurunan giro wajib minimum (GWM), dan juga menurunkan suku bunga.
"Maka akan terjadi pertumbuhan kredit yang lebih baik untuk ke depannya," pungkasnya. (drk/ang)











































