Bila dirunut ke belakang, maka hal tersebut bukanlah pertama kalinya dilakukan JPMorgan. Masih cukup jelas diingatan bahwa Bambang Brodjonegoro yang sebelumnya adalah Menteri Keuangan pernah dibuat marah besar.
Kejadian itu berlangsung pada Agustus 2015, saat ada gejolak pasar keuangan global. JPMorgan mengeluarkan riset yang menyatakan propsek surat utang Indonesia underweight atau memiliki risiko dalam tiga bulan ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artikel tersebut juga sampai dikutip oleh beberapa media nasional di Indonesia. Ini menimbulkan kepanikan bagi investor, sehingga Bambang langsung mengeluarkan sanksi kepada JPMorgan.
Pada kesempatan itu, JPMorgan mengirimkan surat kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bentuk klarifikasi. Menurut JPMorgan ada kekeliruan dalam penafsiran hasil riset yang dikeluarkan dengan berita yang muncul pada media.
Selanjutnya 13 November 2016, JPMorgan kembali mengeluarkan riset berjudul 'Trump Forces Tactical Change'. Indonesia berada dalam posisi buruk pada riset tersebut, di mana peringkat surat utang diturunkan dua level menjadi underweight.
Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung mengeluarkan surat keputusan Nomor S-1006/MK.08/2016 pada 17 November 2016 tentang pemutusan segala hubungan kemitraan dengan JPMorgan. Baik untuk dealer utama Surat Utang Negara (SUN) maupun bank persepsi.
Atas berulang kali persoalan tersebut dilakukan, dugaan pemerintah, JPMorgan sengaja memberi peringkat yang rendah terhadap surat utang pemerintah supaya tidak banyak investor berminat atau bahkan melepasnya.
Nah, setelah itu, JPMorgan kemudian menampung surat utang yang dilepas investor itu untuk disimpan dan di kemudian dilepas lagi untuk meraup keuntungan.
Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede menganggap keputusan yang diambil oleh pemerintah bersifat wajar. Ini dikarenakan bukan pertama kali terjadi, melainkan sudah berulang kali. Apalagi fakta yang disampaikan tidak berdasar.
"Saya bilang sih agak nyeleneh, karena bukan pertama kali dilakukan seperti itu. Di samping itu faktanya tidak mempertimbangkan fundamental dan prospek ekonomi Indonesia ke depan," kata Josua kepada detikFinance, Kamis (5/1/2017).
Anda bisa menyaksikan video menarik dari 20detik di sini:
(mkl/drk)