Ini Modus Operandi Pencucian Uang di Money Changer

Ini Modus Operandi Pencucian Uang di Money Changer

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Senin, 30 Jan 2017 17:31 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Aktivitas sistem pembayaran di Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bukan Bank, atau biasa dikenal dengan money changer, disinyalir rawan dimanfaatkan untuk pencucian uang. Kegiatan ini biasa dilakukan pada KUPVA Bukan Bank yang tidak berizin.

Salah satu yang paling sering dijadikan tindakan pencucian uang melalui money changer adalah yang terjadi pada jaringan bandar narkotika. Direktur TPPU Badan Narkotika Nasional (BNN), Rokhmad Sunanto, mengatakan kejahatan narkotika selalu jadi pangsa pasar karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

"Bayangkan di Indonesia harga (narkotika)-nya Rp 2 miliar/kg. Di pusatnya di China hanya Rp 100 juta/kg. Tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura Rp 300 juta/kg. Makanya pemberantasan narkotika tidak hanya fisiknya saja, tapi juga tindak pidana pencucian uang untuk memotong sumber pendanaan narkotika," kata Rokhmad, dalam jumpa pers di kantor Bank Indonesia (BI), Jakarta, Senin (30/1/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa modus operandi yang biasa dilakukan di antaranya adalah, kerja sama antara penyelenggara transfer dana dan KUPVA Bukan Bank yang berizin dengan yang tidak berizin. Di mana penyelenggara transfer dana dan KUPVA Bukan Bank yang tidak berizin dijadikan sebagai perantara transaksi keuangan dari bandar narkotika.

Penyelenggara transfer dana dan KUPVA Bukan Bank juga menggunakan rekening pribadi lebih dari satu, dengan nama identitas nasabah yang dipalsukan.

"Jadi biasanya bandar itu tidak langsung menukar uang lalu membelikan (narkoba). Untuk mengelabui, makanya terjadi tindakan pencucian uang. Mereka yang menukarkan, orang lain yang membeli. Makanya mengenali lebih dalam nasabah (know your customer), ini penting sekali," tutur Rokhmad.

Selain itu, pelaku pencucian uang juga menggunakan perusahaan ilegal sebagai sarana untuk melakukan tindakan kejahatan. Hal ini dilakukan guna memalsukan dokumen importasi dan invoice.

"Salah satu kasus lainnya, melakukan pencucian uang dengan KUPVA tidak berizin yang sumber uangnya dari bandar narkotika. Lalu uangnya ditransfer ke luar negeri. Pengiriman ini enggak langsung ke KUPVA, tapi melalui perusahan importasi. Kami telusuri dana ini, dibagi ke-11 negara yang nilainya mencapai Rp 3,6 triliun," pungkasnya. (wdl/wdl)

Hide Ads