Salah satu yang paling sering dijadikan tindakan pencucian uang melalui money changer adalah yang terjadi pada jaringan bandar narkotika. Direktur TPPU Badan Narkotika Nasional (BNN), Rokhmad Sunanto, mengatakan kejahatan narkotika selalu jadi pangsa pasar karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
"Bayangkan di Indonesia harga (narkotika)-nya Rp 2 miliar/kg. Di pusatnya di China hanya Rp 100 juta/kg. Tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura Rp 300 juta/kg. Makanya pemberantasan narkotika tidak hanya fisiknya saja, tapi juga tindak pidana pencucian uang untuk memotong sumber pendanaan narkotika," kata Rokhmad, dalam jumpa pers di kantor Bank Indonesia (BI), Jakarta, Senin (30/1/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyelenggara transfer dana dan KUPVA Bukan Bank juga menggunakan rekening pribadi lebih dari satu, dengan nama identitas nasabah yang dipalsukan.
"Jadi biasanya bandar itu tidak langsung menukar uang lalu membelikan (narkoba). Untuk mengelabui, makanya terjadi tindakan pencucian uang. Mereka yang menukarkan, orang lain yang membeli. Makanya mengenali lebih dalam nasabah (know your customer), ini penting sekali," tutur Rokhmad.
Selain itu, pelaku pencucian uang juga menggunakan perusahaan ilegal sebagai sarana untuk melakukan tindakan kejahatan. Hal ini dilakukan guna memalsukan dokumen importasi dan invoice.
"Salah satu kasus lainnya, melakukan pencucian uang dengan KUPVA tidak berizin yang sumber uangnya dari bandar narkotika. Lalu uangnya ditransfer ke luar negeri. Pengiriman ini enggak langsung ke KUPVA, tapi melalui perusahan importasi. Kami telusuri dana ini, dibagi ke-11 negara yang nilainya mencapai Rp 3,6 triliun," pungkasnya. (wdl/wdl)