Ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai OJK terlalu super power. Dengan memiliki wewenang mengawasi, mengatur, menjatuhkan sanksi hingga melakukan pungutan, pejabat OJK dikhawatirkan bisa menyalahgunakan wewenang.
"Bagaimana mungkin suatu lembaga yang lakukan pengawasan bisa buat regulasi, lakukan pengawasan dan jatuhkan sanksi sekaligus memungut uang dari lembaga. Mereka bisa salah gunakan kekuasaan, perdagangkan aturan, karena urusannya adalah siapa yang bayar," tuturnya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, dia menilai kewenangan OJK juga terlalu luas, mulai dari perbankan, industri jasa keuangan non bank, asuransi hingga pasar modal. Salamuddin mengusulkan agar menghilangkan kewenangan OJK atas perbankan. Sebab kewenangan OJK seringkali berbenturan dengan regulator lainnya yakni Bank Indonesia (BI)
"Kami meminta agar pengawasan perbankan dikeluarkan dari OJK. Karena itu bentrok dengan BI. Kami minta OJK fokus saja ke lembaga keuangan nonbank, asuransi dan lain-lain. Karena cakupannya terlalu luas. Dalam sidang di MK memang ada perdebatan antara BI dan OJK. BI bilang, banyak tugas BI dalam awasi moneter berbenturan dengan OJK," tukasnya.
Lagi pula, lanjut Salamuddin, OJK dianggap kurang berhasil memajukan industri perbankan. Menurut catatannya 81% penyaluran kredit perbankan diserap oleh perusahaan besar dan kurang dari 1% nasabah di perbankan menguasai 68% tabungan di perbankan.
"Posisi itu belum bergeser banyak sejak OJK didirikan. Sehingga apa orientasi OJK? Seharusnya mengubah struktur ekonomi kita yang timpang," tegasnya. (ang/ang)











































