Redenominasi adalah penyederhanaan mata uang tanpa mengubah nilai. Ekonom menyebutkan jika redenominasi dilakukan akan ada sisi positif dan negatif.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono mengatakan, jika redenominasi berhasil dilakukan maka rupiah akan menjadi lebih kredibel dan nilai tukar akan lebih kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tugasnya berat sekali pemerintah kalau mau redenominasi sekarang, banyak berita hoax mudah menyebar, sama juga berita fitnah, challenge pemerintah ini berat, intinya butuh ketenangan dan stabilitas," ujar Tony di Gedung MA, Kamis (20/7/2017).
Menurut Tony, tidak semua orang bisa memahami arti redenominasi dengan cepat. Karena itu dibutuhkan sosialisasi yang gencar kepada masyarakat terkait kebijakan ini.
"Sebenarnya redenominasi itu kan memotong 3 angka nol di belakang, itu membuat rupiah jadi lebih kredibel. Contohnya US$ 1 itu jadi Rp 13. Itu lebih baik karena akan meningkatkan daya saing dengan mata uang negara lain," kata dia.
Menurut Tony jika untuk meningkatkan kredibilitas rupiah maka harus diperjuangkan. Untuk daya saing atau kompetitifnes. Dia mengatakan, untuk redenominasi idealnya dilakukan jika pertumbuhan ekonomi di atas 6% hingga 7%. Kemudian nilai tukar rupiah juga harus teruji.
"Angka Rp 13.300 itu belum cukup teruji, cadangan devisa sudah baik, neraca perdagangan yang baik hingga ekonomi bagus itu akan menciptakan kenyamanan, maka pas dilakukan redenominasi," ujarnya.
Jika masyarakat tidak paham, ditakutkan redenominasi ini akan disalah artikan sebagai sanering atau pemotongan nilai uang. Kemudian orang-orang jadi panik dan menimbulkan masalah baru di perekonomian.
Dia menceritakan, beberapa tahun lalu Korea Selatan melakukan penelitian ke Indonesia terkait redenominasi. Karena menyangka Indonesia adalah negara yang paling siap untuk penyederhanaan ini. "Beberapa tahun lalu wartawan Korea ketemu saya, dia wawancara menanyakan Indonesia paling siap atau tidak redenominasi, padahal tidak, mereka juga bermasalah dengan angka nol di mata uangnya," ujar dia.
Tony mengatakan, Turki adalah salah satu negara yang sukses melakukan redenominasi. Namun ada banyak perbedaan antara Turki dan Indonesia. Turki adalah negara yang mayoritas daratan sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan. Hal ini dinilai menyulitkan sosialisasi dan penyebaran informasi.
"Sosialisasi di sana mudah, karena satu daratan dan negaranya tidak terlalu besar. Lalu level pendidikan dan pendapatan di Turki sudah cukup baik," tambah dia.
Ekonom lain, Aviliani mengatakan redenominasi ini sangat penting untuk menyederhanakan mata uang. "Sekarang kalau dibandingkan dengan mata uang di dunia, Indonesia itu mata uangnya terlalu banyak nol, agar lebih sederhana ya redenominasi baik dilakukan," ujar dia.
Menurut dia, saat ini bukan momen yang pas untuk redenominasi. Karena dibutuhkan situasi yang lebih stabil meskipun kondisi makro Indonesia agak membaik namun masih dibayangi gejolak ekonomi global.
"Gejolak di luar masih tinggi, seperti Timur Tengah memiliki problem keuangan ini takutnya akan merambat ke Indonesia dan mempengaruhi nilai tukar," ujar dia.
Menurut dia, pemerintah lebih baik mengurus fiskal dan memperbaiki perpajakan. Namun jika redenominasi dilakukan maka dibutuhkan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat. "Saat ini masih banyak masyarakat yang tau kalau redenominasi itu adalah sanering, itu akan mempengaruhi ke inflasi, makanya sosialisasi sangat penting," tambah dia.
Direktur Utama PT Panin Bank Herwidayatmo mengatakan, redenominasi adalah hal yang baik untuk Indonesia. Karena akan membantu menyederhanakan administrasi penghitungan di perbankan.
"Ini sangat positif, tapikan prosesnya lama harus ke DPR dulu, tapi baik karena uang di Indonesia sudah kebanyakan angka dan butuh penyederhanaan," kata dia. (ang/ang)