Hal ini disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, dalam Seminar Nasional Big Data dengan tema "Globalisasi Digital: Optimalisasi Pemanfatan Big Data untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi" di Gedung BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Rabu (9/8/2017).
"Saat ini kita memasuki era revolusi digital, yang juga disebut sebagai revolusi industri keempat. Jika revolusi industri pertama ditandai dengan lahirnya mesin uap, revolusi industri kedua dengan munculnya elektrifikasi dan produksi massal, dan revolusi industri ketiga ditandai dengan munculnya teknologi internet, maka revolusi industri keempat adalah fase di mana hampir semua sendi kehidupan kita telah tersentuh layanan digital," papar Agus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedua, Internet of Things (IoT). Di 2016, hampir 18 miliar piranti berbasis internet telah saling terkoneksi yang mengakibatkan terciptanya konsep-konsep inovatif seperti smart homes. Ketiga, Big Data yang didukung oleh kemampuan komputer melakukan analisis yang kompleks (advance analytics). Di 2016, lalu lintas internet global setidaknya telah mencapai 1,2 zetabyte atau 1,2 triliun gigabytes, yang terutama dipicu oleh peningkatan tren penggunaan media sosial melalui perangkat gawai (gadget). Pada 2013 saja terdapat setidaknya 1,85 miliar pengguna aktif media sosial, yang kemudian meningkat menjadi 2,8 miliar pada 2016," tutur Agus.
Dia mengatakan, aktivitas media sosial dan layanan digital yang makin meluas tersebut telah mendorong terciptanya data baru secara masif. Data yang berjumlah sangat besar, bervariasi dan dihasilkan secara sangat cepat (real time) inilah yang dikenal sebagai Big Data.
"Seiring dengan perkembangan teknologi komputasi yang pesat, saat ini kita telah dapat menyaring informasi dan melakukan analisa yang mendalam (advance analytics) terhadap data tersebut, sehingga dapat digunakan untuk keperluan yang produktif," jelas Agus.
Revolusi digital ini tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Hal ini terlihat dari pertumbuhan perusahaan-perusahaan start-ups berbasis digital yang luar biasa, baik di perdagangan barang dan jasa (e-commerce), moda pembayaran, maupun pembiayaan. Jumlah pengguna internet yang berbelanja secara online di tanah air pada 2016 telah mencapai 24,74 juta orang.
Potensi besar dari era digital yang nilainya triliunan rupiah, juga harus dioptimalkan Indonesia. Dengan menggenjot penetrasi internet yang masih rendah.
"Penetrasi internet di Indonesia tergolong masih cukup rendah, yaitu sekitar 51% (2016). Angka ini masih relatif jauh di bawah negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia (71%) dan Thailand (67%). Sebagai perbandingan, angka penetrasi internet di negara seperti Inggris dan Jepang sudah mencapai di atas 90%," ujar Agus.
Persoalan utama belum optimalnya pemanfaatan teknologi digital di Indonesia adalah dari kualitas layanan internet yang relatif masih tertinggal dibandingkan negara lain. Hambatan lain adalah pengeluaran investasi di bidang teknologi informasi (TI) yang juga relatif tertinggal dibanding negara lain.
Agus mengatakan, investasi TI di sektor-sektor utama pemberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi seperti manufaktur dan pertambangan relatif masih rendah, bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan negara-negara dalam kelompok yang sama. Namun investasi yang cukup tinggi tercatat di sektor tersier seperti e-commerce dan fintech yang pada 2016 diperkirakan mencapai US$ 1,7 miliar.
Menurut Agus, apabila hambatan-hambatan dalam pemanfaatan teknologi digital tersebut dapat diatasi, maka diperkirakan digitalisasi ekonomi mampu memberikan nilai tambah sebesar US$ 150 miliar terhadap PDB Indonesia pada 2025 (sekitar 10% terhadap PDB), yang dibarengi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja mencapai hampir 4 juta orang (Studi Mc Kinsey Indonesia: McKinsey Indonesia- 2016, Unlocking Indonesia's Digital Opportunity).
"Selama setahun terakhir, para pengguna internet telah membelanjakan uang sekitar US$ 5,6 miliar (sekitar Rp 75 triliun) di berbagai e-commerce. Dengan kata lain, setiap pengguna e-commerce di Indonesia rata-rata membelanjakan Rp 3 juta per tahun. Aktivitas belanja online yang tinggi ini sejalan dengan keaktifan orang Indonesia di berbagai media sosial. Jakarta bahkan dikenal sebagai 'Twitter capital of the world'," jelas Agus.
Menurut Agus, revolusi digital yang memicu aktivitas berbasis digital yang makin meluas telah menciptakan ledakan informasi maupun banjir data. Selain jumlahnya yang sangat besar dan dihasilkan dengan sangat cepat, variasi data yang tercipta juga sangat beragam, sehingga Big Data memiliki karakteristik yang dikenal dengan 3V, yaitu: volume, variety, dan velocity. Karakteristik ini kemudian berkembang menjadi 5V, dengan tambahan value dan veracity (keyakinan terhadap kebenaran data).
"Data yang berjumlah sangat besar ini sayangnya masih sangat sedikit yang telah termanfaatkan. Studi oleh IBM menunjukkan bahwa 80% dari semua data di dunia baik yang berupa teks, gambar, video ataupun suara, belum dapat dimanfaatkan, terutama karena sifatnya yang tidak terstruktur. Di sisi lain, disadari bahwa data yang sangat besar tersebut sesungguhnya menyimpan begitu banyak informasi dan pengetahuan yang lebih dalam, yang apabila diolah dengan baik, dapat memberikan manfaat yang luar biasa," kata Agus.
Dikatakan Agus, BI meyakini, revolusi digital yang tengah berlangsung ini, apabila dapat dimanfaatkan dengan baik, akan mampu membawa Indonesia pada lintasan pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun. (wdl/ang)