Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, sebenarnya kajian BI sudah jelas mata uang digital atau cryptocurrency bukanlah alat pembayaran yang diakui. Sebab sifatnya masih menimbulkan risiko stabilitas keuangan.
"Cryptocurrency itu bukan alat pembayaran, tidak berdasarkan underlying, cryptocurrency berpotensi menjadi sumber dari pada instability atau menyebabkan risiko stabilitas keuangan. Criptocurrency itu seperti bitcoin tidak ada perlindungan konsumen, criptocurrency itu bisa digunakan untuk pencucian uang," tuturnya di Gedung BI, Jakarta Pusat, Jumat (2/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Blockchain itu tentu kita akan dalami, karena kita juga akan mendalami tentang kemungkinan penerbitan CBDC. (Dengan) CBDC itu akan terjaga, otoritasnya jelas dan kita menggunakan teknologinya. Tapi ini masih dalam (pengkajian)," imbuhnya.
CBDC sendiri ditargetkan selesai dan bisa diimplementasikan pada 2020. Jika benar direalisasikan nantinya mata uang digital yang dikeluarkan dalam bentuk Rupiah juga, sebab menurut undang-undang yang ada mata uang yang diakui adalah Rupiah.
"Artinya kalau sekarang ini kita ada uang Rupiah dalam bentuk bank notes nanti akan ada Rupiah dalam bentuk digital dan uang digital itu yang menjadi administratur. Yang menjadi pengelola tetap central bank dan ini adalah resmi. Tapi kalau yang cryptocurrency bukan alat pembayaran dan UU mata uang menyatakan pembayaran harus dalam bentuk Rupiah. Jadi kita peringatkan jangan dagang atau jual beli atas criptocurrency," tegasnya. (ara/ara)