Kondisi anjloknya nilai uang virtual yang terjadi saat ini perlu diwaspadai. Sebab, hal itu berpotensi mempengaruhi perekonomian dalam negeri.
"Negara pengguna terbesar itu kan seperti Jepang dan Korea. Kalau sampai mengalami krisis pada mata uang mereka akibat cryptocurrency misalnya, Indonesia berpeluang terkena dampaknya," ujar Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta di Jakarta, Senin (5/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari statistik yang ditunjukkan oleh Bitcoinity.org per 5 Februari 2018, kapitalisasi pasar cryptocurrency senilai US$153,36 miliar per 4 Februari 2018. Sementara kapitalisasi pasar market cap JPX sebesar US$5,12 Trilun, KRX US$1.33 Triliun, dan JCI Rp7.390,39 Triliun.
"Namun demikian, yang paling penting untuk dicermati adalah mengenai bahaya dari uang virtual, baik dari fungsinya sebagai alat pembayaran dan juga sebagai komoditas," tuturnya.
Bank Indonesia menyebutkan, kepemilikan cryptocurrency sangat berisiko dan sarat spekulasi karena tidak diterbitkan oleh otoritas moneter, tidak memenuhi karakteristik uang, dan tidak mempunyai status hukum yang jelas. Kemudian, tidak memiliki underlying asset yang mendasari nilainya, volatilitas harga sangat tinggi, tidak ada administrator yang bertanggung jawab atas penerbitannya, dimanfaatkan sebagai regulatory arbitrage.
Dengan profil yang seperti itu, cryptocurrency juga memiliki tingkat risiko yang tinggi dari segi keamanan karena rentan untuk diretas. Cryptocurrency juga bisa menjadi saluran untuk melakukan money laundry bahkan pendanaan terorisme.
"Jadi ini sangat bahaya sekali. Kalau dikatakan sebagai investasi uang virtual tidak memiliki batas atas dan bawah sehingga ketika harga anjlok wealth dari pemilik cryptocurrency akan tergerus," jelas Arif. (ega/hns)











































