'Kado' Terakhir Agus Marto di Bank Indonesia

'Kado' Terakhir Agus Marto di Bank Indonesia

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 18 Mei 2018 09:44 WIB
1.

'Kado' Terakhir Agus Marto di Bank Indonesia

Kado Terakhir Agus Marto di Bank Indonesia
Foto: Sylke Febrina Laucereno
Jakarta - Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 days repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5% dari sebelumnya 4,25%. Hal ini menjadi kado terakhir Agus Martowardojo di akhir masa jabatannya.

BI juga menaikkan bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, berlaku efektif sejak 18 Mei 2018.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan kebijakan tersebut ditempuh sebagai bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"BI juga melanjutkan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan tersebut ditopang oleh pelaksanaan operasi moneter yang diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar valas maupun pasar uang," kata Agus dalam konferensi pers di Gedung BI, Kamis (17/5/2018).

Selain itu, BI juga menerapkan kebijakan makroprudensial, diantaranya dengan tetap mempertahankan Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0%, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan.

Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait terus diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta memperkuat implementasi reformasi struktural. BI memandang bauran kebijakan yang telah ditempuh sebelumnya dan respons saat ini konsisten dengan upaya menjaga inflasi agar tetap berada dalam kisaran sasaran 3,5Β±1% pada 2018 dan 2019 serta mengelola ketahanan sektor eksternal.

"Ke depan, BI akan terus memonitor perkembangan ekonomi dan siap menempuh langkah-langkah yang lebih kuat guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi," ujarnya
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan dengan meningkatkan policy rate menjadi 4,5% ini adalah untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Dia menjelaskan kondisi ekonomi global sudah semakin kuat dan akan tumbuh lebih baik dari yang diperkirakan. "Ini didorong oleh perbaikan ekonomi di Amerika Serikat (AS) yang didukung perbaikan dari lapangan kerjanya dan adanya potensi kenaikan inflasi," kata Agus.

Agus menjelaskan tahun ini masih ada kemungkinan The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan bunga acuan sebanyak 2 kali. Kemungkinan tahun 2019 juga ada kenaikan sebanyak 3 kali. Menurut Agus itu semuanya sudah masuk dalam kajian BI.

"Kenaikkan FFR yang teratur ini membuat negara maju mengarah normalisasi kebijakan moneter. Sehingga era suku bunga tinggi akan terealisasi secara bertahap. BI akan mewaspadai itu," ujarnya.

Agus menjelaskan, ini juga untuk merespon dampak perkembangan dunia termasuk aliran dana dari negara berkembang termasuk Indonesia.


Agus Martowardojo juga menjelaskan Bi siap menempuh langkah kebijakan moneter yang lebih kuat, ini termasuk penyesuain kembali bunga acuan untuk menjaga stabilitas perekonomian di sisa tahun.

"Jika seandainya kita mengeluarkan bauran seperti saat ini dan kondisi mengharuskan untuk kami kembali menyesuaikan maka kami tidak ragu," ujarnya.

Agus mengungkapkan arah kebijakan BI tetap netral dan BI masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di rentang 5,1% - 5,5% tahun ini. Namun masih ada tantangan untuk BI yakni mencegah pelemahn rupiah yang lebih dalam, jika pelemahan rupiah terus berlanjut, maka dapat menjadi ancaman terhadap inflasi domestik yang ditargetkan 2,5% hingga 4,5%.

Dia menyebut nilai tukar rupiah periode Januari - April mengalami depresiasi sebesar 2,06% year to date. Dengan kenaikan suku bunga acuan ini diharapkan dapat membantu iklim investasi agar lebih baik dan modal asing bisa masuk kembali ke pasar keuangan.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan bahwa tren global saat ini adalah rezim suku bunga acuan naik. Situasi ini bermula dari normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dan yang sudah direspon dengan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral di Malaysia, Singapura dan China.

Sejumlah kalangan memprediksi BI akan menaikkan suku bunga acuan di kisaran 25 basis poin (bps) sehingga bunga menjadi 4,5%. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan hingga akhir tahun kemungkinan akan 2 kali penyesuaian terhadap bunga acuan.

Dia menilai, saat ini BI terlambat untuk menaikkan bunga acuan setelah Rupiah dan IHSG melorot. "Seharusnya sejak Maret lalu BI menaikkan 25 bps sebagai respon naiknya Fed Rate untuk menekan keluarnya dana asing. Sekarang kenaikan bunga acuan efeknya bisa kecil ke penguatan rupiah, karena ekspektasi pasar masih cemas soal rentetan aksi terorisme," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Kamis (17/5/2018).

Menurut Bhima kejadian ini bisa menjadi sentimen negatif untuk pasar, mengoffset ekspektasi kenaikan bunga acuan. Apalagi pelaku pasar juga masih mencermati data-data fundamental ekonomi yang saat ini belum solid seperti pertumbuhan kuartal I hanya 5,06%. Kemudian adanya defisit neraca perdagangan yang terparah sejak 2014 hingga US$ 1,63 miliar, serta defisit transaksi berjalan yang terus melebar.

"Jika BI menaikkan hanya 25 bps penguatan rupiah hanya bersifat temporer. Jika ingin rupiah menguat signifikan maka kenaikan bunga idealnya 50 bps," ujarnya.

Kenaikan bunga acuan juga tidak bisa langsung ditransmisikan ke bunga kredit. Bank juga akan sangat hati-hati menaikkan bunga kredit karena kondisi likuiditas saat ini masih gemuk dengan capital adequacy ratio (CAR) 22% dan loan to deposit ratio (LDR) 89,6%. Menurut Bhima ini tidak akan langsung memberatkan dunia usaha dan perbankan.

Menurut dia justru dengan bunga acuan yang dinaikan, investasi asing masih tertarik masuk ke Indonesia. "Ada supply modal asing yang akan kembali ke Indonesia terutama di pasar sekunder. Perusahaan bisa lebih banyak terbitkan obligasi dan saham untuk cari modal alternatif," ujarnya.

Pelemahan nilai rupiah ini terjadi akibat permintaan valuta asing (valas) dalam dolar AS yang tinggi. Hal ini karena kuartal I 2018 banyaknya keperluan pembayaran utang luar negeri (ULN), pembiayaan, impor dan pembayaran dividen. Selain itu, dolar AS ini juga dampak dari berlanjutnya kenaikan US Treasury atau suku bunga obligasi AS hingga mencapai 3,03%, Ini tertinggi sejak 2013.

Presiden Direktur Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja memprediksi BI akan menaikan bunga acuan sebesar 50 bps. Kenaikkan ini untuk upaya penyelamatan rupiah. Kenaikkan ini akan memengaruhi suku bunga deposito dan menyusul penyesuaian bunga kredit.

Direktur Utama Bank Mayapada Hariyono Tjahjarijadi memprediksi BI menaikan bunga acuan sebesar 25 bps namun tak menutup kemungkinan bisa lebih dari jumlah tersebut.

Kenaikan ini sebagai upaya menahan arus modal asing yang keluar akibat meningkatnya yield surat berharga di AS yang sudah naik di atas 3%. Ini akan memengaruhi suku bunga dana masing-masing bank termasuk bunga kredit.

Hide Ads