Didik menyoroti mengenai cicilan utang dan bunga utang yang harus dibayar oleh Indonesia. Hal itu dia sampaikan dalam seminar 'Rezim Devisa dan Strategi Menghadapi Pelemahan Nilai Tukar Rupiah' di Gedung Nusantara, DPR RI, Jakarta Selatan.
"Mungkin tidak disadari saya anggap ini persoalan leadership di bidang ekonomi. Ini problem sekarang utang jatuh tempo tahun ini, itu (cicilan) pokoknya kira kira hampir Rp 400 triliun. Utang yang bunganya harus dibayar itu kira kira Rp 246 atau Rp 250 triliun, total kalau mau bayar Rp 640 triliun," katanya Rabu (3/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun pemerintah selalu menganggap utang Indonesia masih dalam batas wajar jika melihat selisih antara debt to service ratio (DSR) alias rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB/GDP).
"Kalau menghitung hanya utang pemerintah itu tidak fair, dan karena itu kalau pemerintah dikritik soal utang 'oh nggak apa, itu cuma 30% (terhadap GDP)'," ujar Didik.
Tapi Didik menilai rasio utang yang jadi acuan pemerintah hanya utang pemerintah. Padahal ada utang swasta yang juga harus dihitung.
"Hanya mengatakan debt service ratio utang pemerintah saja tidak fair karena GDP bukan hanya pemerintah tapi juga ekonomi secara keseluruhan. Jadi ini 60% kalau mau dihitung (rasio utang terhadap PDB)," paparnya.
Belum lagi jika utang-utang BUMN ikut dimasukkan dalam perhitungan. Yang pasti rasio utang terhadap PDB akan lebih besar.
"Sekarang utang BUMN sudah mulai membesar dan akan mendekati Rp 1.000 triliun. Utang ini pencabut nyawa," tambahnya. (zlf/zlf)











































