-
Gejolak ekonomi global, seperti perang dagang hingga normalisasi perekonomian AS mendorong era suku bunga tinggi. Para bank sentral dunia berlomba menaikkan suku bunga acuan untuk menarik dana asing yang mayoritas kembali ke AS.
Kondisi itu juga terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 basis poin sejak awal tahun. Kini BI 7 days reverse repo rate berada di level 6%.
Keluhan dengan kondisi suku bunga yang tinggi mulai terdengar dari dunia usaha, khususnya pengembang. Memang properti menjadi industri yang paling sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan.
Tahun ini masih menyisakan 1 bulan lagi. Akankah BI akan menaikkan kembali suku bunga acuannya? Apalagi kabarnya Bank Sentral AS, The Fed akan menaikkan suku bunga acuan bulan depan.
Kenaikan suku bunga acuan ini dalam waktu beberapa bulan ke depan akan memengaruhi bunga di perbankan nasional khususnya bunga kredit termasuk kredit konsumsi seperti KPR.
Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menjelaskan kebijakan BI menaikkan bunga dinilai terlalu cepat.
"Kita ada allowance yang masuk ke titik-titik yang mengkhawatirkan, jadi jangan naik-naik terus lah," kata Totok dalam acara REI Mandiri Property Expo 2018 di Jakarta Convention Center.
Dia menjelaskan, kebijakan bunga itu pasti akan mengerek suku bunga KPR yang ada di perbankan. Pasalnya bank juga merupakan mitra kerja developer dalam memenuhi kebutuhan perumahan di Indonesia.
"Memang belum ada pengaruh, tapi cepat atau lambat akan pengaruh ke bunga kredit KPR. Ini akan berat," imbuh dia.
BI juga menaikkan bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,25% dan lending facility 25 bps menjadi 6,85%. Langkah menaikkan bunga ini untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas yang aman.
Jika bulan depan The Fed menaikkan suku bunga acuan, apakah BI juga kembali menaikan BI 7 days reverse repo rate?
"Kami tidak harus menaikkan suku bunga saat The Fed menaikkan fed fund rate," kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Solo, Jawa Tengah.
Dody menegaskan bahwa BI dalam mengambil keputusan moneter selaku berdasarkan data acuan. BI juga mempertimbangkan dampak kedepannya.
"Kita akan melihat forward looking bagiamana pertumbuhan ekonomi dan rupiah. Kita lihat global juga. Kedua prinsip preemptive head a curve," tambahnya.
BI sendiri saat menaikkan suku bunga acuan kemarin tidak mempertimbangkan kondisi inflasi seperti biasanya, tapi kondisi defisit neraca transaksi berjalan. BI menilai perlu menaikkan suku bunga acuan demi menarik dana asing masuk guna menyeimbangkan defisit neraca dagang.
Untuk bulan depan, kata Dody, BI akan kembali mempertimbangkan kondisi-kondisi yang ada. Jika kondisinya sama yang membuat BI harus menaikkan suku bunga acuan kemarin maka tidak menutup kemungkinan suku bunga acuan kembali dinaikan.
"Bulan depan kita buka assessment itu, tapi apakah akan menaikan kita lihat nanti. Bisa saja enggak, karena cukup untuk bulan ini. Memang ambigu, saya enggak bilang tidak akan menaikkan atau menaikan buan depan," ujarnya.
Kenaikan BI rate sendiri biasanya menimbulkan efek samping menekan pertumbuhan ekonomi. Namun BI yakin meski sudah menaikkan 175 basis point pertumbuhan ekonomi RI di tahun ini masih sesuai target.
"Pertumbuhan ekonomi cukup strong. Kita melihat jadi meski suku bunga naik 150 basis point ditambah kemarin 0,25%, ekonomi kita masih bisa tumbuh 5%. Proyeksi kita sampai akhir tahun bisa 5,2%," kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.
Sinyal masih kuatnya pertumbuhan ekonomi menurut Dody terlihat dari masih kuatnya konsumsi dan investasi di tanah air. BI menilai pertumbuhan konsumsi domestik tahun ini masih bisa smapai 6%.
"Ini menunjukan ekonomi kita cukup strong. Dengan suku bunga dinaikan masih mampu dorong investasi khususnya di infrastruktur yang di non bangunan juga tumbuh," tambahnya.
BI sendiri mengambil keputusan menaikkan suku bunga kali ini tidak mempertimbangkan inflasi, melainkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). BI percaya masuknya dana asing dengan kenaikan suku bunga bisa mengimbangi defisit dari sisi CAD.
"Kita masih yakin inflasi tahun ini sekitar 3,2-3,3%, tidak ada issue soal inflasi. Kebijakan moneter tidak kepada inflasi tapi memag ke CAD," ujarnya.
Pada triwulan III-2018 BI mencatat surplus transaksi modal dan finansial belum cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Sehingga neraca pembayaran Indonesia pada triwulan III-2018 defisit US$ 4,4 miliar.
"Kita menaikkan suku bunga kemarin karena kita melihat forward looking. Kita melihat transaksi berjalan masih perly harus dibantu untuk dikurangi. Namun tahun ini kami perkirakan CAD terhadap PDB di bawah 3% turun dari 3. Berarti di triwulan IV-2018 akan turun," tambahnya.
Jika upaya BI bantu redam tekornya transaksi berjalan, maka BI percaya nilai tukar rupiah akan stabil. Itu karena arus dana asing juga berkaitan dengan defisit transaksi berjalan. Jika nilai tukar stabil, tugas utama BI untuk jaga inflasi dan nilai tukar bisa tercapai.