LBH Jakarta menyebut laporan yang masuk mengeluhkan tentang penagihan yang menggunakan ancaman hingga pelecehan seksual. Teror-teror tersebut dilakukan oleh debt collector agar peminjam segera melunasi kredit itu.
Pihak OJK menyebut ancaman kekerasan biasanya dilakukan oleh fintech abal-abal alias ilegal. Kalau sudah begini lapornya ke mana? Berikut berita selengkapnya:
Hal ini karena yang dilakukan oleh fintech ilegal masuk ke pelanggaran. Seperti pencurian data pribadi, penagihan dengan ancaman hingga pelecehan seksual. Menurut Tongam hal tersebut sudah masuk ke ranah tindak pidana.
"Kegiatan-kegiatan teror bisa langsung ke kepolisian. Tapi laporan fintech ilegalnya ke kami (satgas) kami akan mengambil tindakan dengan berkoordinasi dan memblokir fintech serta membuat pengumuman kepada masyarakat mengenai fintech ilegal itu," kata Tongam di Gedung OJK Wisma Mulia 2, Jakarta, Jumat 14/12/2018).
Tongam menjelaskan, satgas dan OJK berupaya untuk melindungi konsumen dari para pelaku fintech ilegal ini. Di sisi lain, regulator mengharapkan masyarakat agar bisa lebih cerdas dalam melakukan pinjaman.
"Fintech peer to peer lending ilegal ini sangat memberikan kemudahan pinjaman ke masyarakat, tapi masyarakat juga harus meminjam sesuai kemampuannya sehingga tidak terjadi tunggakan yang berakhir pada penagihan yang tidak beretika," imbuh dia.
Tongam menjelaskan beberapa ciri utama fintech ilegal. Selain tidak terdaftar di OJK, ciri fintech ilegal antara lain, kantor dan pengelola tidak jelas atau sengaja disamarkan.
Kemudian proses pencairan pinjaman sangat cepat. Hanya dengan identitas seperti KTP pengguna layanan bisa langsung mendapatkan dana yang diinginkan.
Tongam menjelaskan hal itu berbeda dengan fintech legal yang sudah terdaftar di OJK. Fintech legal melakukan analisa selama beberapa hari sebelum memutuskan pengajuan kredit masyarakat.
Kemudian fintech ilegal ini juga melakukan kegiatan yang merugikan. Seperti mengintip daftar kontak pada handphone pengguna.
"Biasanya mereka menyalin semua kontak HP yang dapat digunakan untuk intimidasi pada saat penagihan," ujarnya.
Menurut Tongam, fintech abal-abal ini juga memasang bunga yang sangat tinggi untuk menjerat nasabahnya. Kemudian denda yang diberikan juga seperti tak ada batasan.
Pengamat Fintech Hasnil Fajri mengatakan sebenarnya nasabah bisa meminimalisir kemungkinan itu dengan cara melakukan pencirian aplikasi penyedia utang online tersebut. Ada beberapa hal yang bisa dikenali selain melihat izinnya daru daftar OJK.
Pertama pada saat proses pendaftaran perhatikan benar-benar saat proses persetujuan. Biasanya saat proses itu biasanya aplikasi meminta beberapa persetujuan seperti meminta izin dari akses daftar kontak hingga lokasi GPS.
"Di situ kan sepakat atau enggak dengan izin itu, seperti kita buat akun sosmed lah. Biasanya main pencet-pencet aja. Itu harus dibaca benar-benar. Kalau aneh mending enggak usah," ujarnya di Gedung BEI, Jumat (14/12/2018).
Kedua, bisa dilihat dari bunga yang ditetapkan oleh penyedia aplikasi pinjaman online itu. Menurut Hasnil normalnya fintech peer to peer lending yang berizin mengenakan bunga pinjaman 1,5%-2,5% per bulan atau 0,05%-0,08% per hari.
"Sementara bunga untuk lender harusnya ya di bawah itu. Karena pasti dia ambil untung. Kalau di luar batas itu berarti tidak sesuai sama OJK," tegasnya.
Menurut Hasnil bunga itu seharusnya sudah cukup bagi pelaku fintech peer to peer lending untuk mengambil untung. Sehingga tidak ada alasan jika mengenakan bunga jauh lebih tinggi.
Asosiasi fintech menyebut agar tak ada lagi korban yang berjatuhan. Regulator diminta untuk membuat acuan sistem penilaian nasabah.
Usul tersebut diutarakan oleh Co-Founder PT Data Inteligen Indonesia (Datagensia) Harry KW Haryono dalam acara Seminar Fintech di Gedung BEI, Jumat (14/12/2018).
"Sebulan dua bulan terakhir ramai ada pinjaman online. Itu banyak grey area yang harus OJK memang mewaspadai. Karena memang banyak modus-modus mereka pinjam tapi karena tidak ada scoring mereka dapat pinjaman tapi mereka tidak bayar," terangnya.
Menurut Harry fintech peer to peer lending memang menargetkan nasabah yang belum tersentuh oleh perbankan, seperti pinjaman dengan jumlah yang sangat kecil. Oleh karena itu sulit mendapatkan data nasabahnya dan penilaiannya.
Untuk dia mengusulkan kepada OJK untuk membuat credit scoring yang bisa digunakan oleh semua fintech termasuk peer to peer landing. Ada beberapa hal yang menjadi bahan penilaiannya, seperti KYC online, riwayat pinjaman sebelumnya, kekuatan keuangan, kebiasaan atau prilaku, hingga hubungan sosial.
Untuk mendapatkan scoring secara keseluruhan dia mengusulkan tidak hanya dikumpulkan melalui dokumen saja tapi juga memanfaatkan media sosial. Nantinya seluruh nasabah bisa mendapatkan penilaian dari teman atau kerabatnya melalui online.
"Semua orang akan transaksi di HP. Anda bisa dapat scoring dari teman Anda yang mungkin belum ketemu 10 tahun. Jadi nanti kalau nilainya tinggi bisa dapat kelebihan, seperti sewa mobil dia tidak harus taruh uang jaminan. Tapi kalau scoring-nya jelek langsung ditolak," ujarnya.
Dengan adanya scoring itu, para fintech peer to peer lending akan mendapatkan dengan risiko yang lebih rendah. Sementara masyarakat bisa terlindungi dari jeratan lingkaran rentenir online.
Pihaknya baru mengusulkan credit scoring itu ke OJK. Jika usulan itu diterima pihaknya akan mematangkan pembuatan sistemnya.
Asosiasi fintech menyebut agar tak ada lagi korban yang berjatuhan. Regulator diminta untuk membuat acuan sistem penilaian nasabah.
Usul tersebut diutarakan oleh Co-Founder PT Data Inteligen Indonesia (Datagensia) Harry KW Haryono dalam acara Seminar Fintech di Gedung BEI, Jumat (14/12/2018).
"Sebulan dua bulan terakhir ramai ada pinjaman online. Itu banyak grey area yang harus OJK memang mewaspadai. Karena memang banyak modus-modus mereka pinjam tapi karena tidak ada scoring mereka dapat pinjaman tapi mereka tidak bayar," terangnya.
Menurut Harry fintech peer to peer lending memang menargetkan nasabah yang belum tersentuh oleh perbankan, seperti pinjaman dengan jumlah yang sangat kecil. Oleh karena itu sulit mendapatkan data nasabahnya dan penilaiannya.
Untuk dia mengusulkan kepada OJK untuk membuat credit scoring yang bisa digunakan oleh semua fintech termasuk peer to peer landing. Ada beberapa hal yang menjadi bahan penilaiannya, seperti KYC online, riwayat pinjaman sebelumnya, kekuatan keuangan, kebiasaan atau prilaku, hingga hubungan sosial.
Untuk mendapatkan scoring secara keseluruhan dia mengusulkan tidak hanya dikumpulkan melalui dokumen saja tapi juga memanfaatkan media sosial. Nantinya seluruh nasabah bisa mendapatkan penilaian dari teman atau kerabatnya melalui online.
"Semua orang akan transaksi di HP. Anda bisa dapat scoring dari teman Anda yang mungkin belum ketemu 10 tahun. Jadi nanti kalau nilainya tinggi bisa dapat kelebihan, seperti sewa mobil dia tidak harus taruh uang jaminan. Tapi kalau scoring-nya jelek langsung ditolak," ujarnya.
Dengan adanya scoring itu, para fintech peer to peer lending akan mendapatkan dengan risiko yang lebih rendah. Sementara masyarakat bisa terlindungi dari jeratan lingkaran rentenir online.
Pihaknya baru mengusulkan credit scoring itu ke OJK. Jika usulan itu diterima pihaknya akan mematangkan pembuatan sistemnya.