Melansir data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah pada November 2008 sebesar Rp 1.692 triliun berdasarkan perhitungan kurs tengah BI saat itu. Utang tersebut terdiri dari utang pinjaman Rp 763 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 929 triliun.
Sementara utang pemerintah per akhir November 2018 jumlahnya menjadi Rp 4.395,97 triliun. Rinciannya, total utang pemerintah per akhir November 2018 terdiri dari pinjaman yang sebesar Rp 784,38 triliun dan SBN sebesar Rp 3.611,59 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira lonjakan utang ini dipengaruhi beberapa faktor. Pertama nafsu besar pemerintah di era Jokowi untuk bangun infrastruktur sementara partisipasi swasta masih kecil, jalan pintasnya terbitkan utang dalam jumlah yang besar.
"Kedua efektivitas anggaran belum optimal terlihat dari kenaikan belanja pegawai dan belanja barang meningkat lebih tinggi dibandingkan belanja modal," ujarnya kepada detikFinance, Kamis (17/1/2019).
Ketiga, meningkatnya kebutuhan dana untuk operasional pemerintah tidak dibarengi dengan penerimaan pajak. Menurut Bhima dalam beberapa tahun terakhir tax ratio mandeg di bawah 12%, lebih rendah dari negara-negara asia lainnya.
"Perluasan basis pajak pasca tax amnesty masih belum terlihat signifikan. Jika pajak sebagai sumber penerimaan kurang optimal ujungnya adalah pemerintah harus terus menutup defisit melalui penerbitan utang," tambahnya.
Terakhir, dia menjelaskan, adanya perubahan yang signifikan model pembiayaan utang. Utang pemerintah kini lebih banyak didominasi penerbitan surat utang yang bunganya relatif lebih mahal.
"Pada 2010, komposisi utang pemerintah lebih banyak didominasi oleh pinjaman yang porsinya mencapai 63,7 % dari total seluruh utang pemerintah. Sementara, porsi utang dalam bentuk SBN hanya 36,3%. Per November 2018 porsi pinjaman tinggal 17,8% dan SBN mencapai 82,16%. Penerbitan utang dalam bentuk surat utang bunganya jelas lebih mahal saat ini sekitar 8% untuk tenor 10 tahun. Pinjaman relatif lebih rendah,{,
"Bunga yang tinggi ini jadi masalah baru karena pemerintah harus membayar bunga mahal dengan penerbitan utang lagi. Polanya akan terus seperti itu. Dan kalau dilanjutkan tidak sehat bagi fiskal. Kenapa penerbitan SBN karena ini jalan pintas untuk kejar pembiayaan," tutupnya. (das/zlf)