Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipatif dari kemungkinan adanya pengguna layanan yang memiliki niat buruk atau ingin menghindar dari kewajiban pembayaran utang.
"Kita sedang ada proyek membuat blacklist sharing atau fraud sharing, sebuah sistem tertentu yang menggunakan blockchain untuk mendeteksi peminjam nakal," kata Sunu di Jakarta, Senin (4/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan nantinya perusahaan fintech kredit online bisa melihat atau menganalisis status atau skor kredit calon peminjam. Menurut dia, jika calon peminjam memiliki tingkatan tertentu misalnya sering menunggak pembayaran hingga memiliki pinjaman yang berlebihan maka ia berpotensi masuk dalam daftar hitam.
Menurut Sunu, hal ini dilakukan untuk menjamin perlindungan konsumen. Kemudian sistem berbagi data ini merupakan bentuk perlindungan bagi penyelenggara.
"Jadi blacklist sharing ini berguna untuk melindungi bisnis ini dan konsumen," ujarnya.
Selain sistem daftar hitam ini, AFPI bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga membuat pusat data fintech P2P lending. Melalui pusat data ini, seluruh transaksi yang dilakukan melalui fintech P2P lending legal akan terdata oleh OJK.
Sehingga nantinya daftar peminjam yang melakukan transaksi pada lebih dari satu penyelenggara pinjaman online juga akan terdeteksi.
Dengan demikian, pelaku industri jadi lebih mengenali riwayat kredit dari nasabah yang akan diberi pinjaman tanpa harus mengakses data-data pribadi nasabah.
"Di bawah POJK 77, OJK berhak menarik data informasi yang dibutuhkan, dan OJK dapat menginformasikan ke AFPI terkait pinjaman yang telat bayar, kemudian peminjam yang memiliki pinjaman berlebih, dan kemudian informasi lain terkait peminjam yang berguna bagi bisnis kami," imbuh dia. (kil/ara)