Perbankan dan Pemerintah Rebutan Uang Masyarakat

Perbankan dan Pemerintah Rebutan Uang Masyarakat

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Sabtu, 23 Mar 2019 17:12 WIB
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Yogyakarta - Pemerintah saat ini gencar menerbitkan surat utang. Hal ini disebut mempengaruhi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Indonesia. Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Rian Kiryanto menjelaskan saat ini ada potensi perebutan DPK antara bank dan pemerintah.

Rian mengungkapkan hal ini karena pemerintah yang rajin menerbitkan surat berharga negara (SBN) senilai lebih dari Rp 800 triliun. Dia menyebutkan hal tersebut juga terbagi dari surat berharga baru yang diterbitkan yakni hingga RP 260 triliun.

"Surat utang yang jatuh tempo ini tidak di-re-profil, sehingga pemerintah nanti bayarnya juga besar. Ini akan ada rivalitas dalam merebutkan dana masyarakat antara pemerintah dan perbankan," ujar Rian dalam acara pelatihan wartawan di Hotel Marriott, Yogyakarta, Sabtu (23/3/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menjelaskan saat ini bursa efek juga sedang gencar-gencarnya untuk menarik dana masyarakat, dengan kemudahan berinvestasi. Sehingga membuat korporasi mudah mendapatkan pinjaman dana segar lewat IPO (initial public offering).

Menurut dia saat ini juga banyak perusahaan yang mendapatkan dana dari pasar modal.

"Mau dapatkan dana dia bisa IPO, dan jumlah emiten baru makin banyak. Ini mengindikasikan bahwa korporasi bisa mendapatkan dana tidak hanya dari perbankan. Apalagi pasar keuangan kita makin dalam. Banyak instrumen di perbankan dan kapital market," kata Rian.

Rian menjelaskan ada sejumlah strategi yang harus dilakukan bank dalam menghadapi persaingan yakni jika bekerja sama bank bisa memberikan penawaran perjanjian 30% fasilitas bank harus digunakan.

Lalu strategi berikut adalah menggunakan dan mengembangkan digital banking, dengan QR code atau layanan digital lainnya.

"Maka kita di perbankan, semuanya sedang kembangkan teknologi ini," katanya.



Kemudian langkah selanjutnya perbankan bisa mengembangkan SCF (supply chain financing). Yakni menggarap semua rantai pasok dari kreditur perbankan.

"Kita garap kontraktor utamanya lalu kita garap juga sub kontraktornya. Jadi sekali pukul dapat semua," ucap Ryan.

Selanjutnya perbankan harus memperbanyak kerjasama dengan merchant sehingga semua jalur pembayaran menggunakan perangkat perbankan.

"Baru mereka akan menggunakan EDC yang merk perbankan miliki. Ini cara jangan sampai DPK kita tidak keluar masuk, kita usahakan stabil. Yang keluar masuk adalah time deposit. Ini adalah instrumen rate balancing. Dan senjata terakhir adalah special rate. Tapi ini senjata terakhir perbankan gunakan," ujar dia.

Seperti diketahui, Industri perbankan Indonesia dalam beberapa bulan terakhir menghadapi isu pengetatan likuiditas. Hal ini tercermin dari data rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang mencapai 94 % pada Desember 2018, tertinggi lebih dari 10 tahun terakhir.

Pengetatan likuiditas semakin terasa pada bank bermodal inti rendah, yaitu bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) I hingga III. Posisi LDR BUKU I -bermodal inti kurang dari Rp 1 triliun- tercatat 103,4 %, BUKU II -bermodal inti Rp 1-5 triliun- 94 %, dan BUKU III -bermodal inti Rp 5-30 triliun- 92,3 %. Ini di atas batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 92 %.

(kil/eds)

Hide Ads