-
Istilah generasi milenial atau muda kini akrab di kalangan pengusaha. Jumlahnya yang besar menjadikannya sebagai pasar yang potensial.
Besarnya potensi ini juga dilirik perusahaan asuransi. Apalagi, jumlah orang yang melek asuransi di Indonesia masih minim.
Lalu, seberapa besar potensi pasar tersebut? Apa strategi perusahaan asuransi menggaet generasi milenial ini?
Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau Jasindo, Eddy Rizliyanto menilai, kepedulian milenial terhadap asuransi bisa dilihat dari literasi dan penetrasi keuangan terkait asuransi. Dia bilang, keduanya masih rendah sehingga perlu disosialisasikan.
Eddy menjelaskan, tingkat literasi baru 15%. Sementara, penetrasinya baru 8%.
"Literasi keuangan khususnya asuransi masih rendah. Lebih kurang 15% yang disebut literasi 15% kira-kira, dari 100 orang cuma 15 orang yang tahu asuransi. Kalau yang punya (asuransi) namanya penetrasi itu cuma 8%. Tapi bagi kami justru potensi, yang nggak tahu mau kita garap," katanya kepada detikFinance di kantornya, Jakarta, Rabu lalu (14/8/2019).
Soal milenial, dia menjelaskan, potensinya sangat besar. Dia menjelaskan, Indonesia akan mengalami bonus demografi di mana 70% penduduk Indonesia ialah kategori muda.
"Kalau kita cerita milenial, kita harus lihat lagi besaran bahwa di tahun 2020-2035 Indonesia mengalami bonus demografi, di mana di periode itu adalah puncak suatu generasi Indonesia memiliki 70% penduduk kategori muda. Muda itu menurut World Bank 15-64 (tahun)," ujarnya.
Kemudian, dia melanjutkan, generasi milenial merupakan bagian dari penduduk kategori muda tersebut.
"Sementara kelompok milenial yang lahir 1980-1990 sampai 2000 itulah bagian 70%. Tapi mungkin kalau rinciannya saya nggak tahu persis di populasi, kemungkinan yang disebut milenial 40-50% dari 70% bonus demografi itu," ujarnya.
Besarnya jumlah generasi muda alias milenial menjadi peluang bagi bisnis asuransi. Sehingga, perusahaan asuransi mencari strategi untuk menggaet kaum milenial tersebut.
Eddy Rizliyanto menjelaskan, model bisnis era saat ini telah mengalami perubahan. Oleh sebab itu, perusahaan asuransi juga mengalami penyesuaian.
"Kami sedang menyiapkan platform digital menuju insurance tech. Karena sekarang sudah berubah model bisnis dari owning economy menuju sharing economy, makanya kita akan kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan fintech untuk menggarap digital ini, digital insurance," jelasnya.
Lanjutnya, generasi milenial sendiri merupakan generasi yang tak bisa lepas dari gadget. Sehingga, dibutuhkan sebuah platform yang bisa memenuhi kebutuhan milenial.
"Digital insurance ini untuk menggarap pasar ritel, lebih spesifik lagi pasar milenial. Milenial itu kan sudah terbiasa dengan gadget connected. Dia nggak makan nggak apa-apa, yang penting ada jaringan, baterainya full. Mereka nggak kemana-mana langsung bisa beli produk di gadget, kita sudah ada mockup untuk insurance tech, kalau mau beli produk asuransi bisa di situ," jelasnya.
Dia melanjutkan, melalui platform itu, milenial tidak hanya bisa memilih asuransi, tapi juga memilih produk investasi.
"Bukan hanya itu, dia bisa melakukan transaksi yang lain, investasi, bayar pulsa. Tapi, di aplikasi kita, apa namanya, namanya belum disebut. Mudah-mudahan kalau bisa tahun ini kita launching. Mockup sudah ada, bisa investasi, bisa nabung. Yang kita kejar traffic, bukan hanya platform kita," terangnya.
Akrab teknologi dan suka pengalaman baru seperti pelesiran alias travelling tak bisa dilepaskan dari generasi milenial. Jelas saja, pelesiran tak lepas dari risiko di jalan. Pertanyaannya, perlukah milenial mengurus asuransi saat travelling?
Eddy Rizliyanto menjelaskan, pada dasarnya saat ini perjalanan sudah dicover asuransi oleh PT Jasa Raharja (Persero) jika menggunakan kendaraan. Kemudian, oleh BPJS Ketenagakerjaan jika ada kaitannya dengan kerja.
"Mungkin saya upadate coverage asuransi dari masyarakat Indonesia. Kalau di asuransi perjalanan memggunakan kendaraan bermotor, atau pesawat, laut, kereta api, darat, itu udah tercoverage secara umum Jasa Raharja. Misalnya, kalau kecelakaan dia kalau nggak salah dapat Rp 25 juta, meninggal Rp 50 juta, sama semua," katanya.
"Kemudian kalau misalkan pesawat kalau misalnya salah satu penumpang adalah pegawai otomatis dia mendapat coverage BPJS TK sebesar 48x kali gaji berarti ada dua perusahaan asuransi sosial itu otomatis dicover," sambungnya.
Kemudian, ada asuransi lain seperti milik Jasindo untuk melindungi masyarakat terkait jika terjadi insiden. Jadi, paling tidak 3 asuransi yang bisa dibayarkan ke korban melalui premi yang dibayar rutin itu.
Dia bilang, itu belum termasuk asuransi travel. Asuransi travel, lanjutnya, memberikan tambahan perlindungan.
"Travel insurance di luar itu lagi. Kalau misalnya si A dia menutup travel insurance di Jasindo, misalnya Rp 500 juta dengan uang mungkin Rp 50 ribu mungkin dalam satu hari atau dua hari maka akan ada 4 asuransi yang membayar korban," ujarnya.
Patut diketahui, asuransi tidak hanya melindungi insiden besar seperti kecelakaan. Ada risiko lain yang perlu diperhatikan namun tak dilindungi asuransi, seperti, ketinggalan barang. Dia bilang, Jasindo sendiri menawarkan fasilitas perluasan berupa penanganan untuk barang tertinggal.
"Kalau travel insurance kehilangan kenyamanan misalnya bagasi ketinggalan itu ada perluasan tetentu. Kemudian amit-amit kita sakit kita ke Thailand, once kita punya travel insurance bisa di-handle untuk penanganan di rumah sakit. Kalau tadi sampai pesawat jatuh, kalau hal-hal kecilnya itu," jelasnya.