Rudy Ramli si pemilik Bank Bali bahkan harus ikut mendekam dipenjara. Tapi bukan itu yang membuatnya sakit hati. Ada dugaan konspirasi yang membuat dirinya harus kehilangan perusahaan keluarga satu-satunya itu.
Untuk skandal cessie bermula ketika Bank Bali mengucurkan pinjaman bantuan dana antar bank ke Bank Umum Nasional, Bank Tiara, BDNI dan bank lainnya yang jumlahnya mencapai Rp 1,3 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari jumlah piutang tersebut, sebanyak Rp 946 miliar tidak bisa ditagih. Saat itu Rudy merasa dijerumuskan oleh oknum BI. Akibat tidak dibayarnya pinjaman antar bank itu, terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank Bali akhirnya harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun.
"Jadi 12 Januari 1999 saya tanda tangan dengan EGP (PT Era Giat Prima/penagih utang) untuk hak tagih itu," terang Rudy saat berbincang dengan detikcom.
Bank Bali pun harus melakukan rekapitalisasi. Dari beberapa calon investor baru Bank Bali memilih GE Capital dan kemudian meneken MoU kerja sama pada 12 Maret 1999. Namun Bank Indonesia dan BPPN menolak itu dan memaksa Bank Bali memilih Standard Chartered Bank (SCB).
"Kemudian pada tanggal 12 April 1999 sudah habis kontrak. Si EGP ini hanya menunggang. Jadi dalam Bank Bali ada konspirasinya EGP, dia hanya menunggang. Dia melihat saya ada tagihan yang enggak keluar-keluar dia nunggang untuk dapat duit buat Habibie. Itu semua orang sudah tahu," terangnya.
Nah yang ingin diungkap Rudy adalah dugaan konspirasi yang dilakukan SCB. Pada 22 April 1999 Rudy dan manajemen Bank Bali akhirnya menerima paksaan untuk menerima SCB yang akan masuk membantu perusahaan.
Pada tanggal itu Rudy menandatangani kesepakatan dengan SCB. Menariknya dokumen yang diteken Rudy hanya selembar kertas kosong.
"Kalau dipikir-pikir sekarang, kok waktu saya teken kertas putih itu saya diam saja. Kalau otak saya jalan, waktu itu saya bisa saja ambil mic kan banyak wartawan saat itu. Ya tinggal saya bilang kami tanda tangan kertas kosong. Saya enggak tahu kenapa saya diam saja. Saya sadar itu kertas kosong," kenangnya.
Setelah beberapa bulan, belum ada tindakan dari SCB untuk menyelamatkan Bank Bali. Nah inti dari kejadian ini terjadu pada 22 Juli 1999 untuk proses uji tuntas (due diligence).
Saat itu bos besar SCB datang ke Jakarta. Dia mengundang para eksekutif Bank Bali makan malam di Ballroom di Hotel Shangri-la. Rudy berhalangan hadir lantaran harus menghadiri pelantikan sahabatnya sebagai Kepala Staf Angkatan Laut di Surabaya.
Baca juga: Cerita Kelam Perbankan RI saat Krismon 98 |
Namun tepat pada saat makan malam itu, manajemen Bank Bali mendapatkan informasi dari Bank Indonesia (BI) bahwa perusahaannya sudah berstatus Bank Take Over (BTO). Itu artinya Bank Bali resmi jadi pasien BPPN.
"Jadi saya enggak penuhi undangan itu. Tapi ada direktur dan komisaris saya yang hadir. Eh malam itu dapat surat dari BI selamat ya bank anda di-BTO-kan, diserahkan ke BPPN. Jadi mereka sengaja melakukan pesta. Dan itu BTO berdasarkan rekomendasi Standard Chartered Bank. Intinya sudah lah Bank Balinya di-BTO-kan saja, supaya mereka hanya negosiasi sama BPPN saja. Enggak usah ada Keluarga Ramli lagi," terangnya.
Sejak saat itu, Rudy sudah dilarang untuk ke kantor Bank Bali. Dia didepak dari perusahaannya sendiri. Kemudian Bank Bali dimerger dengan beberapa bank lainnya yang kemudian menjadi Bank Permata.
(das/zlf)