Jakarta -
Pinjaman mikro ternyata masih digunakan sebagai kedok untuk praktik rentenir. Salah satu yang sedang heboh adalah maraknya praktik bank emok di wilayah Jawa Barat.
Bank emok sendiri berasa dari bahasa Sunda yang artinya duduk lesehan. Praktik ini memberikan pinjaman kepada ibu-ibu rumah tangga pada umumnya dengan bunga yang mencekik.
Fenomena ini kembali dipaparkan oleh salah satu anggota Komisi XI saat melakukan rapat kerja dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab ternyata BPR yang sudah berizin OJK juga melakukan praktik yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bank emok belakangan ini heboh di wilayah sekitaran Jawa Barat. Pinjaman mikro ini dianggap sebagai cara baru rentenir beroperasi.
"Banyak aduan di wilayah pemilihan saya di Karawang Bekasi ada bank emok. Itu bank keliling. Awalnya saya menganggap bank emok rentenir berkedok koperasi dengan bunga yang tinggi hingga 20%," kata Anggota Komisi XI Puteri Komarudin saat rapat dengan OJK di Gedung DPR, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Puteri sendiri mengaku sudah melakukan penyelidikan di dapilnya selama 8 bulan terkait praktik bank emok itu. Ternyata banyak juga bank yang sudah mendapatkan izin dari OJK yang melakukan praktik tersebut.
"BPR juga ternyata menjadi penyalur utama pinjaman mikro ini. Yang disayangkan perempuan menjadi target utama dari bank emok ini karena sanksi sosial," ujarnya.
Praktik bank emok sendiri memberikan persyaratan yang sangat mudah, mengingat target utamanya adalah ibu rumah tangga. Menurut hasil penyelidikan Puteri syaratnya hanya KTP, KK dan tanda tangan suami yang sering dipalsukan.
"Bahkan karena itu ada yang sampai diceraikan," tambahnya.
Puteri menambahkan, dalam praktiknya bank emok juga sedikit memaksa dalam menyalurkan kredit. Salah satu skemanya dengan memberikan kredit per kelompok usaha.
"Setiap kelompok harus punya 10 anggota. Semuanya harus punya usaha. Tapi ternyata hanya ada 5 orang yang memiliki usaha dan 5 orang lainnya dipaksa," terangnya.
Alhasil sisa emak-emak yang tidak memiliki usaha meminjam utang itu hanya untuk kebutuhan konsumtif. Sementara pembayarannya harus tanggung renteng.
"Kalau ada yang tidak bisa bayar orang yang lain harus bayar. Ini malah menurunkan taraf hidup mereka. Karena para pengusaha itu harus menutup lubang dari teman-temannya," tambah Puteri.
Menurutnya praktik ini sudah sangat menyebar di berbagai wilayah dengan julukan nama yang berbeda-beda. Seperti bank jongkok bahkan bank kelek karena catatannya yang diselipkan di ketiak.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>
Emok sendiri berasal dari bahasa sunda yang artinya berarti cara duduk perempuan lesehan dengan bersimpuh menyilangkan kaki ke belakang. Penyalur dana ini diberi nama bank emok lantaran saat terjadinya transaksi dilakukan secara lesehan dan targetnya adalah emak-emak.
Sebelumnya juga sudah heboh beredar tentang video emak-emak yang histeris saat ditagih uang utang oleh bank emok. Meski video yang viral belum diketahui lokasinya, keberadaan bank emok ini telah menjamur di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dalam praktiknya bank emok menyalurkan pinjaman kepada suatu kelompok tidak perorangan. Kelompok penerima pinjaman ini harus terdiri dari 10 orang atau lebih.
Tujuan awalnya bank emok memberikan pinjaman kepada kelompok usaha. Namun pada kenyataannya bank emok memberikan juga pinjaman kepada emak-emak untuk kebutuhan konsumtif.
detikcom sendiri pernah berbincang dengan salah seorang ibu, IH, yang merupakan nasabah bank emok. Perempuan berusia 47 tahun ini merupakan warga Desa Sukarasa, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Ia mengaku terpaksa meminjam uang ke bank emok karena kebutuhan ekonomi. Meski bunga utang lebih tinggi, IH memilih bank emok karena persyaratannya sangat mudah dibanding bank. Cukup dengan fotokopi KTP, uang pinjaman sudah bisa diterimanya.
"Syaratnya mudah, hanya setor KTP saja sudah bisa pinjam uang," ujar IH di rumahnya, Senin (11/11/2019).
Bank emok akan menyalurkan pinjaman belasan hingga puluhan juta rupiah kepada kelompok tersebut. Nah pembagiannya berbeda-beda sesuai kesepakatan kelompok tersebut.
"Jadi, dari sana itu bisa Rp 20 juta. Nah itu dibagi-bagi sama kelompok. Misal ada yang ambil Rp 1 juta, Rp 2 juta atau Rp 5 juta. Kalau saya ambil waktu itu yang Rp 1,5 juta, karena memang butuhnya segitu," katanya.
Setelah uang Rp 1,5 juta didapat, IH berkewajiban mencicil Rp 50 ribu per minggu selama 50 kali. Jika ditotalkan IH harus mengembalikan Rp 2,5 juta atau naik Rp 1 juta dari jumlah pinjaman awal.
Nah yang jadi masalah adalah pinjaman ini harus dibayarkan secara tanggung renteng. Artinya ketika ada satu atau beberapa anggota tak bisa bayar maka harus ditanggung oleh anggota lainnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman