Jakarta - Masalah yang membelit PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bukanlah masalah yang tiba-tiba muncul. Masalah asuransi pelat merah itu setidaknya mulai tampak sejak tahun 2006.
Berdasarkan bahan paparan yang disampaikan Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko disebutkan, dalam laporan keuangan 2006, ekuitas (modal) Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun. Saat itu kantor akuntan publik (KAP) Soejatna, Mulyana & rekan memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
"Saya ambil dari 2006, karena 2006 itu wajar tanpa pengecualian, artinya laporan auditnya bersih tapi bersih seperti apa, bersih tapi negatif ekuitasnya. Ekuitasnya sudah negatif Rp 3,29 triliun," katanya di Kawasan Jakarta Selatan Jumat lalu (27/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2007, Jiwasraya mencatat laba Rp 34,39 miliar. Namun, dengan KAP yang sama Jiwasraya mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP). Tak hanya itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga memberikan opini disclaimer.
"Disclaimer artinya penyajian tidak sesuai standar dan banyak pos-pos material tidak bisa dijelaskan atau tidak ditemukan bukti," sambungnya.
Tahun 2008, Jiwasraya mencatatkan ekuitas negatif Rp 5,7 triliun, namun laba Rp 16,17 miliar. KAP Soejatna, Mulyana & rekan memberikan opini WDP.
Di tahun 2009, ekuitas Jiwasraya berbalik positif jadi Rp 800 miliar, dari seharusnya minus Rp 6,3 triliun. Menurut Hexana, ekuitas ini berbalik positif karena ditopang skema reasuransi. Di tahun ini, KAP yang sama memberikan opini WTP dan mencetak laba Rp 356 miliar.
"Itu melalui mekanisme reasuransi. Di mana yang direasuransi adalah kewajiban turun Rp 10,7 triliun jadi Rp 4,7 triliun karena Rp 6 triliun direasuransikan. Reasuransi sebenarnya liniensi, karena reasuransi tidak mengurangi liabilitas," ujarnya.
"Harusnya tidak mengurangi balance sheet, tapi kebijakan waktu itu diziinkan sementara, dibolehkan tapi mesti dicarikan solusi," sambungnya.
Pada tahun 2010 hingga 2012 skema reasuransi berlanjut. Pada tahun 2010 KAP Soejatna, Mulyana & rekan memberi opini WTP. Kemudian, tahun 2011-2012 KAP Hertanto, Sidik & rekan juga memberikan opini WTP.
Jiwasraya mencatat laba 3 tahun berturut-turut yakni Rp 204,47 miliar di 2010, laba Rp 394,11 miliar di tahun 2011, dan laba Rp 268,19 miliar di tahun 2012.
Pada 2013, ekuitas Jiwasraya surplus Rp 1,75 triliun dari mulanya negatif Rp 3,2 triliun. Surplus ini terjadi karena ditopang oleh revaluasi aset. Laba Jiwasraya tercatat Rp 457,24 miliar.
"Jadi surplus Rp 1,75 triliun dari revaluasi aset tanah dan bangunan, yang tadinya di buku dicatat Rp 200 miliar menjadi Rp 6,3 triliun jadi positif lagi. Tapi kan hanya paper nggak ada injeksi cash. Baru dari balance reengineering, KAP-nya gimana OK dinyatakan WTP lagi, dan membukukan laba Rp 457 miliar," ungkapnya.
Namun, revaluasi aset ini memberi beban Jiwasraya ke depannya. Lantaran, revaluasi tidak menghasilkan cashflow tapi menghasilkan liabilitas dari sisi operasional. Revaluasi aset membuat pajak khusunya pajak bumi dan bangunan (PBB) langsung naik. Kondisi ini yang mendorong penerbitan JS Saving Plan untuk mengatasi likuditas.
"Maka sejak 2014 Jiwasraya terekspose sama dengan likuditas risk karena sebelumnya tidak punya profil liabilitas yang jatuh tempo setiap saat. Nah ini, punya jatuh tempo setahun-setahun kan tiap hari ada penerbitan kan. Saat itu seharusnya diperlukan likuidity management secara ketat," terang Hexana.
Masuk periode 2014 hingga 2016 ekuitas Jiwasraya surplus yakni masing-masing Rp 2,4 triliun (2014), Rp 3,4 triliun (2015) dan Rp 5,4 triliun (2016).
Tahun 2014 dan 2015 KAP Djoko, Sidik & Indra memberikan WTP. Lalu tahun 2016 PwC memberikan opini WTP.
Laba Jiwasraya dari 2014 hingga 2016 tercatat yakni Rp 661,67 miliar (2014), Rp 1,06 triliun ( 2015) dan Rp 1,70 triliun (2016).
Di tahun 2017, Jiwasraya mencatat ekuitas surplus Rp 5,6 triliun dan laba Rp 360,30 miliar. Namun, PwC memberikan opini adverse atau modifikasian.
"Apa yang bikin adverse perhitungan cadangan kurang, asetnya belum ditinjau detil, jadi sebenarnya 2017 itu secara audit, kalau itu diperhitungkan semua hal-hal material yang dijadikan catatan itu rugi faktanya perusahaan, dan catatan itu harus segera dibukukan di tahun berikutnya tahun 2018," ujarnya.
"Jadi, jangan 'titik' laba Rp 360 miliar tapi laba Rp 360 miliar karena belum mengakui cadangan, kekurangan mengakui liabilitas Rp 7,7 trilun belum semuanya. Katakan ambil Rp 7,7 triliun, itu ruginya Rp 7,3 triliun," sambungnya.
Tahun 2018, Jiwasraya belum menerbitkan laporan keuangan. Tapi, berdasarkan laporan keuangan 2018 unaudited, ekuitas perusahaan minus Rp 10,24 triliun.
"Tahun 2018 itu audited, sekarang proses seleksi KAP-nya memang agak terlambat, kenapa terlambat karena menunggu audit BPK dan BPKP," tutupnya.