Dana Nasabah Harus Jadi Prioritas di Penyelesaian Skandal Jiwasraya

Dana Nasabah Harus Jadi Prioritas di Penyelesaian Skandal Jiwasraya

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 03 Feb 2020 08:26 WIB
Kantor Pusat Jiwasraya
Dana Nasabah Harus Jadi Prioritas di Penyelesaian Skandal Jiwasraya. Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Jakarta -

Seluruh lembaga negara yang berkomitmen menyelesaikan sengkarut keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) perlu mengutamakan kepentingan nasabah. Artinya, dana nasabah harus segera dikembalikan.

"Kami berharap semua pihak DPR, BPK, Kejaksaan Agung, Ombudsman, menggunakan kewenangannya untuk perlindungan nasabah dengan pendekatan bisnis yaitu mengembalikan uang nasabah secara terukur, obyektif, kredibel dan akurat dengan pendekatan bisnis, karena nasabah lah yang hari ini dirugikan bukan negara dalam kasus jiwasraya," kata President Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri, Senin (3/2/2020).

Deni mengaku miris lantaran ada pihak yang mempunyai kewenangan, namun berakrobat politik atau hukum hanya untuk menunjukan superioritas lembaga, tanpa memperdulikan pemegang polis yang menunggu kepastian pembayaran.

Menurutnya, sistem keuangan non bank saat ini memang masih jauh dari kokoh, apalagi dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya.

Berdasarkan Undang Undang No 29 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), ada klausul yang menyatakan bahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank, dan bukan asuransi.

Logika dasarnya adalah bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.

"Sementara itu berdasarkan akal sehat lembaga keuangan apakah bank ataupun non bank berpotensi memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang secara relatif besar dengan sektor keuangan lainnya," paparnya.


Deni memberi contoh ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil alih perusahaan asuransi AIG, karena memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang besar dengan industri keuangan. Kala itu, AIG dimiliki swasta dan diambilalih oleh negara.

Pengambilalihan itu memang tidak mulus lantaran ditentang banyak pihak. Alasannya, dianggap negara tidak boleh memiliki badan usaha milik negara, namun karena alasan yang kuat dari argumentasi ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang sangat besar terhadap sektor perekonomian khususnya sektor keuangan maka langkah pengambilalihan tersebut juga disetujui parlemen.


Selanjutnya, Pemerintah AS mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengambilalih AIG. Belakangan, keputusan pemerintah AS ternyata tepat. Karena memberikan keuntungan yang signifikan. Untuk membail-out AIG, pemerintah AS menggelomtorkan US$ 182,3 miliar, dan menjualnya US$ 205 miliar.

Artinya, ada keuntungan sebesar US$ 22,7 miliar. Di mana, dana bailout US$ 182,3 miliar itu berasal dari pemerintah AS dan bank sentral AS cabang New York, yang merupakan pinjaman. Dalam hal ini, pemerintah AS mendapatkan 79,9% saham AIG.

"Penting untuk dicatat, bahwa pinjaman diberikan oleh bank sentral. Pengalaman ini yang tidak dimiliki oleh Indonesia," ungkap Deni.

Terkait Jiwasraya, Deni mengusulkan pemerintah membentuk tim untuk mengevaluasi dampak sistemik dari kasus seperti Jiwasraya ini. Tentunya bukan ranah Komite Stabilitas Sistem Keungan (KSSK), karena tidak ada undang-undang yang mendukung KSSK melakukan bailout terhadap Jiwasraya.


Untuk itu, ia menyarankan dibentuk sebuah tim dengan penasihat yang berkualitas dan berinteritas.

"Tujuannya bukan saja menyelamatkan Jiwasraya tetapi juga memastikan bahwa Jiwasraya tidak berpotensi menjadi krisis yang bersifat sistemik, selain juga untuk menjamin pemerintah Indonesia akan mendapatkan keuntungan jika nantinya dilakukan bailout," ungkapnya.



Simak Video "Video: Kejagung Ungkap Cara Jiwasraya Manipulasi Kerugian"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads