Jakarta -
Untuk menekan dampak ekonomi akibat COVID-19 pemerintah dan regulator mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit. Sayangnya kebijakan tersebut dinilai belum optimal.
Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi XI DPR, Amir Uskara menjelaskan hal ini dinilai belum optimal karena minimnya sosialisasi ke dunia usaha baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun dari bank ke debiturnya yang terdampak.
Amir menjelaskan kebijakan darurat ini membutuhkan implementasi yang cepat agar menahan risiko kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tuntutan dari dunia usaha memang mendesak, sementara waktu untuk menyiapkan perangkat aturannya sangat singkat. Hal ini menjadi salah satu penyebab, sektor jasa keuangan agak kesulitan merestrukturisasi kredit karena aturan yang mereka miliki yaitu restrukturisasi kredit saat kondisi normal," kata Amir dalam diskusi virtual, Senin (18/5/2020).
Dia mengungkapkan bank atau perusahaan pembiayaan harus selektif terutama dalam menganalisa, memilih dan memutuskan debitur yang benar-benar layak mendapat relaksasi karena usahanya terdampak Covid-19.
Menurut Amir salah satu bank yang cepat merespon kebijakan restrukturisasi ini adalah BRI, hingga kuartal I-2020 kata Amir bank dengan kode perdagangan BBRI itu telah merestrukturisasi kredit senilai 101 triliun rupiah kepada sekitar 1,4 juta debiturnya terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan pangsa terbesar bank tersebut.
Dengan restrukturisasi ini rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan/NPL, bank yang fokus di pembiayaan UMKM itu, trendnya sedikit naik ke level 3%, sekalipun masih aman karena di bawah batas ambang maksimal yang ditetapkan regulator sebesar 5%.
Berdasarkan hasil evaluasi Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada April 2020, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada Maret 2020 sudah sedikit menurun namun masih cukup tinggi. Pada Maret 2020, CAR tercatat sebesar 21,72% dibandingkan Desember 2019 sebesar 23,31%.
Demikian juga risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross sedikit meningkat namun masih terjaga di 2,77% dibanding Desember 2019 di level 2,53%.
"Saya belum melihat dampak dari restrukturisasi selama pandemi ini di bank-bank lain karena belum menyampaikan laporan kinerja kuartal I-2020," kata Amir.
Menurut Amir banyak pengusaha muda yang belum terinformasi sama sekali. "Mereka hanya mendengar imbauan Presiden di media, tetapi tidak tahu ada aturan dari OJK dan bank atau perusahaan leasing yang memungkinkan mengajukan relaksasi jika usahanya terdampak pandemi ini," kata Amir.
Sebab itu, politisi asal Gowa, Makassar itu berharap agar OJK dan sektor jasa keuangan terbuka menyampaikan ke publik khususnya ke debitur, kriteria yang layak untuk mendapat keringanan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan demi kelangsungan usaha debitur.
Dengan demikian, melalui regulasi yang jelas, maka bank atau perusahaan pembiayaan bisa membedakan debitur mana yang layak diselamatkan dan mana yang memang sudah bermasalah, tetapi mencoba mengambil keuntungan dari situasi saat ini.
Simak Video "Video: OJK Catat Utang Paylater Warga RI di Bank Naik ke Rp 21,9 T"
[Gambas:Video 20detik]