Tentang Indosterling yang Terjerat Kasus Gagal Bayar Rp 1,2 T

Tentang Indosterling yang Terjerat Kasus Gagal Bayar Rp 1,2 T

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 18 Nov 2020 08:45 WIB
Nasabah Minta Dirut Indosterling Optima Dicekal, Ini Kata Pengacara
Foto: Danang Sugianto/detikcom
Jakarta -

Kasus gagal bayar produk investasi dari PT Indosterling Optima Investa (IOI) satu per satu terkuak. Fakta terbaru yang mencengangkan ialah perusahaan mengaku tak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Kasus Indosterling ini berawal dari gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk tersebut menjanjikan imbal hasil 9-12% setiap tahunnya.

Melalui kuasa hukumnya yang bernama Hardodi dari HD Law Firm, perusahaan mengaku tak mengantongi izin dari OJK maupun BI untuk beroperasi. Alasannya, produk HYPN saat ini belum ada payung hukumnya baik di OJK maupun BI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Perlu diingat HYPN ini adalah surat utang dalam jangka waktu tertentu, oleh karena itu tidak perlu izin dari OJK. Sebab ini kesepakatan dari pemegang dan penerbit, jadi memang tidak ada izinnya. Dalam HYPN ini perjanjian, jadi boleh dibilang utang-piutang," terangnya dalam konferensi pers di Ambhara Hotel, Jakarta, Senin (16/11/2020).

Menurut Hardodi, produk tersebut dapat diperoleh dengan menandatangani surat perjanjian antara Indosterling dengan nasabah. Dalam surat itu, perusahaan sudah menyatakan bahwa produk HYPN tidak memiliki izin.

ADVERTISEMENT

"Itu disepakati oleh kedua belah pihak," sambung Hardodi.

Namun, menurutnya perusahaan memiliki izin berdiri sebagai perseroan terbatas (PT).

Dalam menyelesaikan kasus, Indosterling mengklaim sudah menawarkan penyelesaian pembayaran dana nasabah yang menolak PKPU melalui aset. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh para nasabah.

Hardodi menjelaskan, menurut data putusan PKPU, jumlah nasabah IOI yang ikut dalam produk HYPN mencapai 1.041 orang dengan total dana yang dihimpun mencapai Rp 1,2 triliun. "Dari total nasabah itu yang ikut ke dalam PKPU mencapai 878 nasabah dan yang tidak ikut 163 nasabah," terangnya.

Dalam proses PKPU, proses penyelesaian dana nasabah tergantung pada besaran dananya, namun rentang penyelesaiannya berjenjang selama 4-7 tahun.

Akan tetapi, sebagian nasabah menolak lantaran mereka menilai pembayarannya terlalu lama, terutama bagi nasabah yang sudah lanjut usia. Namun, Hardodi mengklaim pihak Indosterling juga sudah menawarkan penyelesaian kepada nasabah yang menolak PKPU berbentuk aset.

"Jadi kalau disebutkan bahwa tidak ada proses penyelesaian. Kami pada 3 November sudah undang beliau termasuk kuasa hukumnya. Kami sudah tawarkan solusinya, tapi yang bersangkutan menolak. Yang kami tawarkan aset, dan dia menolak mentah-mentah. Jadi tidak benar kalau dibilang tidak ada proses penyelesaian," terangnya.

Hardodi mengatakan, aset yang ditawarkan berbentuk tanah dan bangunan yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat. Menurutnya aset itu merupakan aset pribadi dari SWH selaku Direktur Indosterling.

"Itu aset pribadinya yang terpisah dengan perusahaan, tapi kita sudah ada perintah oleh penyidik tidak boleh lagi ada negosiasi dengan aset karena sudah ditetapkan sebagai barang bukti," tandasnya.


Hide Ads