Selama masa pandemi COVID-19 perbankan kesulitan dalam penyaluran kredit. Selain minimnya geliat dunia usaha, para perbankan juga cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.
Kondisi itu membuat dana semakin besar mengendap di perbankan. Masyarakat juga cenderung memilih untuk menyimpan dananya di perbankan ketimbang berbelanja.
Namun sepertinya kondisi itu tidak akan berlanjut di tahun depan. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meyakini tahun depan kredit bisa tumbuh sampai 9%, begitu juga dengan dana pihak ketiga (DPK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Gubernur BI: Masa Kritis Sudah Berlalu |
"Ke depan, intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik. Pertumbuhan kredit dan DPK pada tahun 2021 diperkirakan masing-masing meningkat 7,0-9,0%," ucapnya dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2020, Kamis (3/12/2020).
Perry menjelaskan, perkiraan itu sejalan dengan prospek pemulihan ekonomi serta berlanjutnya stimulus kebijakan baik dari sisi fiskal maupun moneter dan makroprudensial. Kinerja korporasi secara perlahan juga membaik, tercermin dari peningkatan penjualan, kemampuan bayar, serta penerimaan perpajakan, terutama pada sektor Industri dan Perdagangan.
Memang sepanjang tahun ini pertumbuhan kredit perbankan malah terkontraksi. BI mencatat pada Oktober 2020 kredit mengalami kontraksi 0,47%.
Sementara di periode yang sama DPK tumbuh 12,12%. Itu artinya dana menumpuk di perbankan.
"Lemahnya pertumbuhan kredit pada Oktober 2020 tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Nusa Tenggara Barat dan Papua," kata Perry.
Meski pertumbuhan kredit melemah, Perry menilai stabilitas sistem keuangan tetap terjaga. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada September 2020 tercatat sebesar 23,41%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tercatat masing-masing 3,15% (bruto) dan 1,07% (neto).
Namun demikian, fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat karena kinerja dunia usaha yang tertekan dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi COVID-19.
(das/zlf)