Menjelang akhir tahun, isu mengenai kasus PT Asuransi Jiwasraya masih terus memanas. Maklum banyak nasabah korban Jiwasraya belum mendapatkan kejelasan mengenai haknya atas penempatan dana di produk JS Saving Plan yang dijual oleh BUMN asuransi itu.
Berlarut-larutnya kasus ini pun membuat nasabah korban Asuransi Jiwasraya menuntut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertanggung jawab. Apalagi, OJK merupakan pihak yang memberikan izin produk saving plan untuk dipasarkan.
"Oleh karena itu kami menuntut pertanggungjawaban OJK untuk menyelesaikan kasus Jiwasraya ini dengan mengutamakan kepentingan korban yang bergantung pada kredibilitas OJK dalam memberikan izin dan melakukan pengawasan," kata Roganda Manulang, Dengar Tanggapan Nasabah Jiwasraya secara virtual, Senin (14/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada diungkapkan Kerman, nasabah Jiwasraya lainnya. Ia menyesalkan peran OJK sebagai regulator. Menurut dia OJK sudah mengetahui kondisi keuangan Jiwasraya yang tidak sehat namun masih tetap memberikan izin produk.
"Sudah tahu sakit, tapi malah diizinkan menjual produk ke masyarakat. Ini harus dipertanyakan," ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini Kejaksaan Agung baru menetapkan satu pejabat OJK sebagai tersangka, yakni Fakhri Hilmi, yang mulai menjabat sebagai Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Oktober 2017. Padahal produk JS Saving Plan diterbitkan izinnya jauh sebelum Fakhri menduduki jabatannya itu.
Fakhri Hilmi (FH) sebelumnya menjabat sebagai Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A OJK untuk periode Februari 2014-Februari 2017. Sementara produk JS Saving Plan yang memiliki jaminan return hingga 13 persen itu, mulai ditawarkan sejak 2013 hingga 2018.
Sementara pejabat lainnya, Firdaus Jaelani Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan non-Bank OJK periode 2012 -2017, dan Dumoli Pardede adalah Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan NonBank (IKNB) II periode 2012 -2017, belum tersentuh.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, penyelesaian kasus Jiwasraya harus total dan tidak setengah-setengah. Tidak hanya OJK, tapi juga Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN sebagai stakeholder terkait.
"Begitu pun dengan bank penyalur, karena mereka menjual sesuatu yang bukan produk bank tapi disebut produk bank. Belum lagi produk itu merupakan produk dari perusahan yang tidak sehat sejak 2008, kok diperbolehkan," kata Irvan, Rabu (16/12/2020). Meski demikian, Irvan menyerahkan seluruhnya pada proses hukum dan fakta pengadilan.
Yang jelas, kata dia, saat ini nasabah sudah tidak sabar dengan kasus Jiwasraya yang berlarut-larut tanpa memberikan kejelasan. Apalagi proses penyelesaian yang ditawarkan pemerintah menurutnya tidak berpihak pada nasabah. Sejak awal nasabah tidak diajak berdialog secara langsung dan hanya melalui media.
Seperti hari ini (16/12/2020) ratusan nasabah asal Korea menggajukan gugatan kepada PT Bank KEB Hana Indonesia. KEB Hana merupakan salah satu dari delapan bank yang menjadi mitra agen penjual JS Saving Plan.
Adapun gugatan nasabah asal Korea ini bentuk kekecewaan atas penyelesaian kewajiban Jiwasraya pada nasabah dan berlarutnya proses penegakan hukum. "Akhirnya bank negaranya sendiri mereka gugat. Sedangkan nasabah warga Indonesia tidak berani menuntut otoritasnya. Setahu saya baru satu orang yang menggugat Jiwasraya dan OJK di Pengadilan negeri Jakarta Pusat," pungkas Irvan.
(upl/upl)