Jakarta -
Bank digital mulai ramai dibentuk di Indonesia. Karena itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengatur tentang modal minimal bank digital.
Regulator menargetkan Peraturan OJK (POJK) ini bisa selesai pada tengah tahun ini. Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengungkapkan jika nantinya pembentukan bank digital harus memiliki modal minimal Rp 10 triliun.
"Untuk bank baru draftnya belum final dan masih diskusi, syaratnya modal minimal Rp 10 triliun," kata dia dalam video conference, Kamis (18/2/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengungkapkan, bank juga harus menggarap segmen sesuai dengan model bisnis dan teknologi yang diterapkan. Bank digital ini juga harus memiliki kantor cabang di Indonesia.
"Harus mempunyai minimal satu kantor cabang dan punya bisnis jelas apakah ke wholesale, ritel dan kapasitas IT nya jelas," ujarnya.
Menurut dia modal minimal Rp 10 triliun ini tak berlaku untuk beberapa bank. Misal bank digital yang berada di satu kelompok bank hanya perlu modal Rp 1 triliun. Dia mencontohkan untuk bank eksisting yang transformasi ke bank digital Rp 1 triliun seperti Bank Royal yang dimiliki BCA dan dikonversi ke bank digital.
"Awalnya kan bank tradisional, itu bisa Rp 1triliun," jelas dia.
Sementara itu untuk bank eksisting seperti Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang diakuisisi induk usaha Sea Group harus memenuhi modal inti sebesar Rp 3 triliun.
Di sisi lain, OJK juga resmi melakukan perubahan pengelompokan bank dari kegiatan usaha menjadi modal inti. Ini tercantum dalam roadmap pengembangan perbankan di Indonesia (RP2I) periode 2021-2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengungkapkan jika pengelompokan ini dilakukan karena telah berlakunya Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang meningkatkan batas modal inti bank.
"Jadi kami menganggap bahwa pengelompokan bank berdasarkan BUKU sudah tidak relevan lagi dalam kita melakukan pengawasan kepentingan statistik," kata dia.
Menurut dia dengan adanya perubahan ini maka status bank BUKU I dan II sudah tereleminasi, sebab POJK nomor 12 Tahun 2020 menaikkan modal inti bank sedikitnya Rp3 triliun pada 2022.
"Jadi bank tidak dipaksa meningkatkan modal intinya, ini hanya untuk kepentingan kita dalam merespon ketentuan atau aturan yang kita keluarkan dan memudahkan dalam peers bank dan memudahkan kita lakukan pengawasan," jelas dia.
Menurut Heru, kelompok bank berdasarkan Modal Inti tersebut tidak menandakan bahwa bank-bank yang sebelumnya masuk ke kategori BUKU tertentu turun kelas masuk ke kategori KBMI.
Itu karena tidak seperti ketentuan dalam BUKU, KBMI tidak lagi dikaitkan dengan produk dan aktivitas bank, sehingga aktivitas bank tidak berkurang dalam pengelompokan ini.
Dia menjelaskan dalam KBMI dikenal KBMI I dengan modal inti sampai dengan Rp6 triliun, KBMI II lebih dari Rp6 triliun sampai dengan Rp14 triliun, KBMI III lebih dari Rp14 triliun sampai dengan Rp70 triliun dan KBMI IV lebih dari Rp70 triliun.
Sekadar informasi dalam RP2MI ini berisi dengan arah penguatan struktur dan keunggulan kompetitif, akselerasi transformasi digital, penguatan peran perbankan terhadap ekonomi dan penguatan pengaturan, perizinan maupun pengawasan.
"Kami harapkan akan terwujud perbankan nasional yang resiliance, berdaya saing tinggi dan kontributif mendukung program pemerintah. RP2I ini berisi arah kebijakan jangka pendek dan struktural perbankan kita," ujarnya.