Perkembangan dari industri teknologi finansial alias fintech di dalam negeri terus bergerak masif. Tingginya kebutuhan pendanaan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari kelas pekerja hingga pelaku usaha mikro menjadi salah satu alasannya.
Namun perkembangan dari fintech di tanah air ternodai dengan kehadiran para fintech ilegal. Kehadiran fintech bodong juga tantangan bukan hanya untuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tapi juga pelaku industri di dalamnya.
Direktur Legal dan Compliance Finpedia Chandra Kusuma menjelaskan, OJK sudah menutup ribuan lembaga fintech ilegal yang pada akhirnya hanya akan merugikan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan suku bunga yang tinggi dan akses data yang berlebih lanjut Chandra hanya membuat masyarakat dirugikan, baik secara finansial maupun secara sosial. Oleh karena itu, penting untuk terus meningkatkan literasi keuangan masyarakat agar tercipta inklusi keuangan yang sempurna.
"Pemerintah, dalam hal ini OJK, sangat mendukung pemasaran produk jasa keuangan yang dikhususkan bagi pembiayaan UMKM, khususnya mereka yang terdampak pandemi COVID-19 dan akibatnya terganggu kelancaran arus keuangannya. Keberadaan fintech p2p lending diyakini dapat mendukung secara efektif pemulihan ekonomi nasional dan membantu UMKM untuk survive ditengah krisis akibat pandemi ini," kata Chandra dalam keterangan tertulis, Minggu (21/3/2021).
Meski begitu, dengan sejumlah regulasi yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah mulai dari penggunaan tanda tangan digital dan juga kemudahan investasi di dalam omnibus law mampu mendorong industri fintech di tanah air terus berkembang menjadi lebih baik.
Pihaknya berharap tantangan fintech masih bisa berkembang tanpa harus ternodai adanya fintceh ilegal. Sebab berdasarkan data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), sampai dengan saat ini terdapat sekitar 46,6 juta pelaku UMKM yang belum memiliki akses kredit. Hadirnya industri teknologi finansial dapat menjadi oase bagi masyarakat yang membutuhkan pendanaan cepat untuk menunjang pengembangan usahanya.
Wakil Presiden Direktur Finpedia, Firlie Ganinduto menjelaskan jumlah masyarakat yang belum memiliki akses kredit juga masih sangat besar, mencapai 132 juta orang.
"Dengan strategi yang tepat, Finpedia mampu membantu ketersediaan akses keuangan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan,"
Lebih lanjut dirinya mengatakan kebutuhan pembiayaan masyarakat setiap tahunnya masih sangat tinggi, mencapai Rp 1.600 triliun setiap tahunnya. Dengan kehadiran lembaga teknologi finansial seperti Finpedia, mampu memenuhi gap pembiayaan yang selama ini sulit dipenuhi oleh lembaga keuangan konvensional.
Dengan kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, membuat biaya distribusi pendanaan secara konvensional sangat mahal. Namun dengan penggunaan teknologi yang tepat ditambah penguatan literasi keuangan yang dilakukan secara terus menerus, industri teknologi finansial dapat menjadi jembatan bagi masyarakat di wilayah terpencil untuk mendapatkan akses keuangan.
(das/dna)