Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) disebut menjadi refleksi untuk mereformasi industri keuangan nasional. Manajemen risiko di industri ini harus dijalankan secara optimal.
Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwasraya, R. Nahelan Prabantarikso menyampaikan, bahwa sebelumnya Jiwasraya tidak menjalankan manajemen risiko dengan optimal berkaitan dengan unit-unit di perusahaan dengan menjalankan investasi yang tidak prudent. Alhasil, Jiwasraya dinyatakan gagal bayar pada Oktober 2018.
"Kami temukan banyak unit yang manajemen risikonya tidak optimal, misalnya dalam menjalankan investasi tidak prudent. Oleh karena itu penting terdapat framework Governance Risk Compliance (GRC)," ujar Mahelan, Kamis (15/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahelan menyebutkan, dengan menerapkan aspek GRC, permasalahan yang ada di Jiwasraya harus menjadi titik balik dalam reformasi di industri asuransi karena mampu menumbuhkan integrasi dan mencegah konflik kepentingan.
Adapun penguatan tata kelola juga menjadi sangat krusial untuk dapat menggenjot pertumbuhan industri dengan lebih optimal. "Dampak kasus gagal bayar mempengaruhi pertumbuhan penetrasi asuransi jiwa dan menyebabkan risiko reputasi, oleh karena itu reformasi menjadi penting," ujar Mahelan.
Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan analisa mendalam dari berbagai kasus pada industri keuangan, terutama dalam kasus Jiwasraya dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang mengalami gagal bayar.
Oleh karena itu, sebagai upaya mendorong penguatan industri asuransi, OJK akan menerapkan sistem pengawasan dengan menekankan pada kaidah manajemen risiko dan tata kelola perusahaan
"Pengembangan pengawasan dilakukan untuk bisa memprediksi risiko yang mungkin timbul, meski belum bisa tercermin dari data-data yang sementara ada," Kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Dengan sistem pengawasan yang baru, OJK yakin akan lebih maksimal melindungi nasabah dari produk-produk beresiko tinggi yang kurang dipahami oleh nasabah.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Ihsanuddin mengakui, industri asuransi masih menghadapi sejumlah tantangan, dari mulai penetrasi dan densitas hingga kasus gagal bayar di sejumlah perusahaan.
Maka dari itu, OJK menyiapkan tiga fokus penganan di industri asuransi ini. Pertama, berkenaan dengan pendalamaan, root cause. Kedua, OJK akan menerapkan risk based supervision sesuai kondisi masing-masing perusahaan, didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai.
Ketiga, OJK akan meminta komitmen pemegang saham atau manajemen perusahaan terkait untuk menyiapkan rencana penyehatan keuangan (RPK). Kegiatan penyehatan pun diawasi sesuai waktu penyelesaian yang disepakati perusahaan dengan otoritas.
(kil/ara)