Pembeli Aset Asabri-Jiwasraya Rawan Digugat dan Barang Diminta Kembali

Pembeli Aset Asabri-Jiwasraya Rawan Digugat dan Barang Diminta Kembali

Tim detikcom - detikFinance
Senin, 14 Jun 2021 08:44 WIB
PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau disingkat PT ASABRI (Persero) , adalah sebuah BUMN yang bergerak dibidang Asuransi Sosial dan pembayaran pensiun khusus untuk Prajurit TNI, Anggota Polri, PNS Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan POLRI.
Foto: Hasan Al Habshy
Jakarta -

Kejaksaan Agung (Kejagung) gencar melakukan pelelangan aset sitaan terkait dengan kasus PT Asabri (Persero). Namun, muncul dugaan harta atau aset tersebut tidak terkait kejahatan.

Kejagung diketahui melakukan proses pelelangan dengan melibatkan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung. PPA sudah koordinasi ke Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai asetnya, nanti yang lelang KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang).

Menyikapi rencana tersebut, Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih menilai dasar hukum rencana Kejaksaan Agung melelang sejumlah barang bukti terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di Asabri tidak memadai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasannya, Korps Adhyaksa hanya merujuk kepada Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terbebani biaya pemeliharaan aset sitaan.

"Terlalu minim jika berpegangan pada KUHAP saja, sementara korupsi ini kan sudah di luar KUHAP. Mestinya sudah punya perangkat sendiri, KUHAP itu kan untuk mencuri biasa, pidana biasa," kata Yenti di Jakarta dikutip pada Minggu 13 Juni 2021.

ADVERTISEMENT

Sementara dugaan adanya aset yang masih berstatus utang dan tak terkait kasus korupsi, kata Yenti seharusnya tidak dipermasalahkan kejaksaan. Artinya, tidak dapat dilaksanakan eksekusi lelangnya (non-executable).

Putusan non-executable antara lain diatur di dalam pasal 39 KUHAP yang mengatur bahwa terhadap pemilik barang bukti yang tidak terbukti mengadakan 'permufakatan jahat' dengan pelaku tindak pidana, maka seharusnya barang bukti dikembalikan kepada yang berhak/pemiliknya.

Jika kejaksaan mengacu pada Pasal 45 KUHP, lelang tersebut harus ada persetujuan pemilik dan harus dihadiri oleh tersangka dalam pelelangan. Namun kejaksaan diketahui tidak menghadirkan para tersangka.

Lanjut ke halaman berikutnya

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar pun senada dan mengatakan jika tidak sesuai dengan hukum acara pelelangan itu tidak sah.

"Apalagi belum ada putusan pengadilan yang menyatakan barang tersebut sebagai hasil dari kejahatan atau barang bukti yang dapat diserahkan kepada negara. Jadi tidak sah," ujar Fickar kepada wartawan pada Minggu 13 Juni 2021.

Menurutnya, jika ke depan hasil lelang tersebut itu terjadi sengketa maka bisa terjadi perubahan status barang bukti itu tidak diserahkan kepada negara. Penyitaan benda yang sudah ada yang dijadikan barang-barang bukti sebelum waktu (tempus) perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa atau terpidana baik dalam perkara Tipikor maupun dalam perkara TPPU adalah bertentangan dengan hukum, oleh karenanya harus dikembalikan kepada yang berhak atau dari mana barang yang bersangkutan disita.

"Artinya jaksa penuntut umum (JPU) harus mengembalikannya kepada terdakwa atau terpidana," katanya.

JPU sebagai eksekutor perkara pidana pun harus bertanggung jawab karena telah menjual harus bertanggung jawab.

"Jika nantinya pengadilan memutuskan 'mengembalikan' aset kepada yang berhak yakni terdakwa, artinya JPU harus membeli kembali barang bukti yang terlanjur sudah dijual," ujarnya.

Si pembeli barang lelang itu pun wajib sukarela untuk menyerahkan barang milik terdakwa tersebut. "JPU harus membeli kembali barang bukti yang sudah dijual. Kecuali terdakwa tidak masalah hanya menerima uang hasil penjualan barang lelang tersebut," katanya.



Simak Video "17 Armada Bus Terkait Korupsi Asabri Disita!"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads