Jakarta -
Perjalanan Satgas BLBI menyita aset Grup Texmaco cukup menyita perhatian publik. Sebab, pihak Texmaco awalnya mengaku tak mendapat dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tapi mengaku punya utang negara.
"Saya ingin menjelaskan bahwa Grup Texmaco tidak pernah mendapatkan dan tidak pernah memiliki BLBI. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan Direktorat Hukum Bank Indonesia, melalui Surat No. 9/67/DHk, tanggal 19 Februari 2007," kata Pemilik Grup Texmaco Marimutu Sinivasan dalam keterangan persnya, dikutip Selasa (7/12) lalu.
Namun, dia mengakui bahwa Grup Texmaco punya utang kepada negara. Utang itu sebesar Rp 8.095.492.760.391 atau setara US$ 558.309.845 (kurs Rp 14.500).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Utang komersial sebesar ini didasarkan pada Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Pada Kasus Grup Texmaco oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Pengawasan Khusus No: SR-02.00.01-276/D.VII.2/2000 tanggal 8 Mei 2000," jelasnya.
Laporan itu sebagai tindak lanjut dari Nota Kesepakatan antara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengenai Penyelesaian Kredit Atas Nama Texmaco yang ditandatangani pada 25 Februari 2000.
"Nota Kesepakatan ini ditandatangani oleh Saifuddien Hasan (Dirut PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Cacuk Sudarijanto (Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dengan diketahui oleh Bambang Sudibyo (Menteri Keuangan)," ungkapnya.
Dengan mengakui utang itu, Marimutu pun ingin membayar utang tersebut dan meminta waktu 7 tahun ke depan.
"Saya beritikad baik untuk menyelesaikannya dengan meminta waktu 2 tahun grace period dan 5 tahun penyelesaiannya (total 7 tahun)," lanjutnya.
Kronologi yang diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani. Klik halaman berikutnya.
Marimutu sendiri mengaku sempat berkali-kali menulis surat selama lebih dari 20 tahun terakhir untuk beraudiensi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk menyelesaikan kewajiban itu. "Namun, permintaan saya tidak mendapat tanggapan," ungkapnya.
Jadi, Marimutu meluruskan kehadirannya memenuhi undangan Satgas BLBI berniat untuk menyelesaikan utang kepada negara dan bukan kasus BLBI.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun membeberkan kronologi awalnya, yaitu pada saat terjadi krisis keuangan tahun 1998, Grup Texmaco meminjam uang ke berbagai bank, mulai dari bank BUMN hingga swasta.
"Kemudian bank-bank tersebut di-bailout atau ditalangi oleh pemerintah pada saat terjadi krisis dan penutupan bank," katanya dalam konferensi pers, Kamis (23/12) kemarin.
Pinjaman yang tercatat dari Grup Texmaco, lanjut Sri Mulyani untuk divisi engineering mencapai Rp 8,08 triliun dan US$ 1,24 juta. Kemudian untuk divisi tekstilnya ada pinjaman sebesar Rp 5,28 triliun dan US$ 256,59 ribu. Belum lagi ditambah pinjaman dalam bentuk mata uang lainnya.
Utang tersebut dalam status macet pada saat terjadi krisis sehingga pada saat bank-bank tersebut dilakukan bailout oleh pemerintah, hak tagih dari bank-bank yang sudah diambil alih oleh pemerintah dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Dan dalam proses ini pun pemerintah selama ini masih cukup suportif terhadap Grup Texmaco, termasuk pada saat itu justru karena divisi tekstilnya masih tetap bisa berjalan, pemerintah melalui bank BNI memberikan penjaminan terhadap L/C-nya (Letter of Credit)," jelas Sri Mulyani.
Di dalam prosesnya, Grup Texmaco telah melakukan agreement atau persetujuan dengan pemerintah mengenai master of restructuring agreement. Itu ditandatangani sendiri oleh pemilik Texmaco. Dalam hal itu telah setuju bahwa utang dari 23 operating company Grup Texmaco akan direstrukturisasi dan dialihkan pada 2 holding company yang ditunjuk oleh pemiliknya, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering, dan PT Bina Prima Perdana.
Lanjut halaman berikutnya.
Kemudian untuk membayar kewajiban yang dimiliki oleh Grup Texmaco pada waktu itu disetujui bahwa Texmaco akan mengeluarkan Exchangeable Bond, di mana itu menjadi pengganti dari utang-utang yang sudah dikeluarkan melalui bank yang dijamin oleh holding company yang ditunjuk tersebut. Exchangeable Bond tersebut memiliki bunga untuk rupiah dengan tenor 10 tahun sebesar 14% dan untuk yang non rupiah atau dolar AS sebesar 7%.
"Di dalam perkembangannya, kembali lagi Grup Texmaco gagal membayar dari kupon Exchangeable Bond yang diterbitkan pada tahun 2004. Dengan demikian pada dasarnya Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang sudah dikonversi menjadi Exchangeable Bond tersebut," jelas Sri Mulyani.
Kemudian pada 2005, kembali pemilik Grup Texmaco mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51, di mana pemilik menyampaikan bahwa hak tagih pemerintah kepada Texmaco sebesar Rp 29 triliun berikut jaminannya.
Mereka menjanjikan akan membayar utangnya kepada pemerintah melalui operating company dan holding company yang dianggap masih baik, termasuk untuk membayar Letter of Credit (L/C) yang kala itu diterbitkan pemerintah untuk membantu perusahaan tetap beroperasi.
"Akan membayar tunggakan L/C yang waktu itu sudah diterbitkan oleh pemerintah untuk mendukung perusahaan tekstilnya sebesar US$ 80.570.000," sambungnya.
Bahkan dalam berbagai publikasi di media massa, pemilik Grup Texmaco mengatakan utangnya ke pemerintah hanya Rp 8 triliun. Padahal akta kesanggupannya sudah menyebutkan memiliki utang Rp 29 triliun plus US$ 80,5 juta atas L/C yang diterbitkan namun tidak dibayarkan juga.
"Jadi dalam hal ini pemerintah sudah berkali-kali memberikan ruang bahkan mendukung agar perusahaannya yang memang masih jalan bisa berjalan, namun tidak ada sedikitpun ada tanda-tanda akan melakukan itikad untuk membayar kembali," tutur Sri Mulyani.
Aset yang disita. Klik halaman berikutnya.
Pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset Grup Texmaco yang menurut Sri Mulyani selama lebih dari 20 tahun diberikan ruang dan waktu, kesempatan, dukungan dengan memberikan L/C jaminan hingga jaminannya itu terambil.
Satgas BLBI menyita tanah Grup Texmaco dengan luas 4.794.202 meter persegi. Di dalamnya terungkap ada dua sekolah. Sri Mulyani menjelaskan bahwa sekolah tersebut dimiliki sang debitur, Grup Texmaco.
"Mengenai penyitaan hari ini karena pada saat yang sama di dalam kompleks itu ada sekolah tinggi teknik dan sekolah menengah kejuruan yang dimiliki oleh Texmaco," katanya.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan bahwa sekolah-sekolah tersebut akan tetap berjalan seperti biasa namun asetnya sekarang diambil alih oleh negara.
"Dan pemerintah akan terus melakukan koordinasi termasuk dengan kementerian terkait agar sekolah tetap bisa berjalan, masyarakat tidak dirugikan namun kewajiban (Texmaco) kepada negara akan bisa secara bertahap akan dikembalikan," jelasnya.
Menkopolhukam Mahfud MD pada kesempatan yang sama menjelaskan aset yang disita sebanyak 587 bidang tanah yang berlokasi di 5 daerah.
"587 bidang tanah yang berlokasi di 5 daerah, yaitu Subang, Sukabumi, Pekalongan, Batu, Padang dengan total luas 4.794.202 meter persegi," jelas Mahfud.