Sederet PR Besar Buat Bos Baru OJK, dari Bumiputera Sampai Pinjol

Sederet PR Besar Buat Bos Baru OJK, dari Bumiputera Sampai Pinjol

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 11 Apr 2022 16:15 WIB
Ilustrasi Gedung Djuanda I dan Gedung Soemitro Djojohadikusumo
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Komisi XI DPR telah mengumumkan nama-nama anggota dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhir pekan lalu.

Dengan adanya susunan baru dan mulai menjalankan mandat pada 20 Juli 2022 mendatang banyak harapan agar lembaga superbody ini mampu mengatasi berbagai macam masalah yang terjadi.

Dalam diskusi publik INDEF bertajuk 'Maraknya Tuyul Digital Menyambut Komisioner Baru OJK' Associate INDEF Eko B Supriyanto mengungkapkan OJK didirikan bertujuan untuk melakukan pengawasan yang terintegrasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

OJK juga diharapkan independen dan mengawasai mikro prudential. Termasuk di dalamnya melindungi perbankan, multifinance, asuransi, dana pensiun, sekuritas sampai pinjaman online.

Dulu, saat kasus penyelewengan BLBI terjadi BI kala itu dinilai tak independen karena bisa diintervensi oleh pemerintah. Tapi kini figur pimpinan OJK yang merangkap jabatan sebagai Wakil Menteri Luar Negeri sebetulnya mempengaruhi kekuasaan politik ketimbang profesionalitas dan background kinerja.

ADVERTISEMENT

"OJK juga punya fungsi penyeimbang dalam kinerja perbankan dan lain-lain sektor keuangan yang di bawah kewenangan pengawasannya," kata dia dalam diskusi tersebut, dikutip Senin (11/4/2022).

OJK dinilai harus mampu memberi stimulus ketika sektor perbankan dan keuangan lain sedang lesu. Namun hingga kini belum terlihat visi dan misi pengurus OJK yang baru ini.

Menurut Eko, OJK menghadapi tantangan yang besar apalagi di IKNB. Sementara sektor pasar modal dan perbankan OJK bisa dibilang berhasil.

Dia menambahkan hampir semua sektor IKNB bermasalah, contohnya asuransi Bumiputera yang 'hidup segan mati tak mau'. Apalagi ada juga likuidasi asuransi Wana Artha dan multifinance dengan debt collector serta Pinjol.

Kemudian muncul 'tuyul' digital dan menjadi masalah seperti binary option, aset kripto sampai money game. "Pesugihan online, begal digital jenis cybercrime dan rentenir online ini jadi PR besar OJK untuk membenahi, termasuk diskusi soal kewenangan OJK di IKNB," jelas dia.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Dalam kesempatan yang sama peneliti INDEF Eisha M Rachbini menjelaskan saat ini kemajuan teknologi digital beserta dampak baik dan buruk tidak tersaring dengan baik.

Karena itu OJK harus meningkatkan literasi digital dan literasi keuangan masyarakat ke depan. "Itu jadi salah satu peran penting OJK saat ini. Tantangan lain adalah soal kewenangan antara OJK dan Bappebti dalam menangani kejahatan digital di sektor keuangan," jelas dia.

Menurut Eisha, masing-masing stakeholder harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini. Memang ada dua sisi mata uang terhadap perkembangan teknologi. Pertama, fintech berikan dampak bagus bagi perekonomian, misalnya kemudahan dalam permodalan bagi UMKM. Investasi masyarakat menjadi terbuka.

"Kedua, Perlu meningkatkan literasi keuangan masyarakat yang masih rendah yang hanya 38%. Dari 100 orang hanya 38 orang yang memiliki kemampuan literasi produk keuangan yang baik. Paham terhadap produk, manfaat dan risiko produk-produk keuangan," jelasnya.

Peneliti INDEF Izzuddin Al Faraz mengungkapkan kondisi ini merupakan dampak dari lemahnya literasi digital keuangan.

Seharusnya setiap perkembangan harus diimbangi dengan legal, learn dan logic. Legal terkait aspek hukum dan sahnya produk atau institusi fintech.

"Learn adalah aspek pemahaman di mana masyarakat harus lebih memahami produk keuangan digital, manfaat dan risiko produk keuangan," jelas dia.

Sementara logic adalah produk yang ditawarkan. Jika menjanjikan keuntungan dalam waktu singkat maka harus diwaspadai. Dibutuhkan riset atau pencarian informasi yang mendalam untuk berinvestasi.


Hide Ads