Kapan Pertama Kali Indonesia Pakai Uang Kertas?

Kapan Pertama Kali Indonesia Pakai Uang Kertas?

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Jumat, 19 Agu 2022 08:00 WIB
6 Pecahan uang kertas Tahun Emisi 1968, 1975 dan 1977 telah ditarik dari peredaran. BI mengumumkan penukaran terakhir uang tersebut pada 28 Desember 2020.
Ilustrasi Uang Kertas Rupiah/Foto: Istimewa
Jakarta -

Uang kertas merupakan salah satu alat pembayaran yang paling banyak digunakan oleh masyarakat kita. Kendati setiap hari bertransaksi menggunakan uang, tidak banyak masyarakat yang mengetahui sejarah lahirnya uang kertas pertama di Indonesia.

Oleh karenanya, berikut sejarah singkat penggunaan uang kertas di Indonesia.

VOC adalah yang pertama memperkenalkan uang kertas 'besar' ke Indonesia. Tetapi tak banyak uang kertas yang dicetak dan diedarkan di nusantara saat itu. Adapun kali pertama VOC memperkenalkan uang kertas 'besar' adalah di tahun 1748. VOC memperkenalkan uang kertas dalam bentuk surat berharga. Nilai nominalnya bervariasi antara 1-10.000 Rijksdaalder.

Sejak tahun 1783, VOC mengedarkan uang kertas dengan jaminan perak 100%. Namun setelah Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, yang dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelahnya pada 1825, Raja Willem I mengusulkan agar didirikan suatu bank di Jawa. Usulan ini berlanjut dengan lahirnya De Javasche Bank pada 1828 dengan berlandaskan kepada suatu Oktroi, yaitu wewenang khusus dari Raja Belanda. Berdasarkan Oktroi tersebut, De Javasche Bank diberi wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas bank dengan nilai lima gulden ke atas.

Karena terbatasnya pencetakan, sebagian uang yang beredar di Hindia Belanda merupakan uang logam, yaitu uang logam Duit (mata uang recehan tembaga yang diterbitkan VOC tahun 1727) yang kembali diberlakukan Van Den Bosch.

ADVERTISEMENT

Pada 1892, De Javasche Bankwet menggantikan Oktroi. De Javasche Bank tetap mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dengan pecahan lima gulden ke atas. Uang kertas yang pernah dicetak De Javasche Bank diantaranya seri J.P. Coen, seri bingkai, dan seri mercurius. Adapun seri wayang merupakan uang kertas terakhir De Javasche Bank, sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang.

Semasa pendudukan Jepang, semua kebijakan keuangan ditetapkan oleh Gunseikanbu, Pemerintah Militer Pusat, yang berusaha mempertahankan nilai gulden dan Rupiah Hindia Belanda, antara lain dengan melarang penggunaan mata uang lain.

Selain itu Pemerintah Pendudukan Jepang juga menerbitkan dan mengedarkan mata uang kertas yang disebut uang invasi. Emisi pertama berbahasa Belanda, beredar pada tahun 1942. Emisi kedua, bertuliskan 'Pemerintah Dai Nippon', namun tak sempat diedarkan. Emisi ketiga, bertuliskan 'Dai Nippon Teikoku Seihu', diedarkan pada tahun 1943.

Setelah pasukan sekutu mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945, komandan pasukan melarang penggunaan uang Jepang dan mengedarkan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Awal Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Indonesia, kondisi moneter negara ini sangatlah buruk. Diperkirakan, ada sekitar empat miliar Rupiah Jepang yang beredar; 1,6 miliar beredar di Pulau Jawa. Kondisi moneter semakin memburuk ketika NICA dengan Sekutu menduduki kota-kota besar Indonesia dan menguasai bank-bank Jepang, lalu mengedarkan Rupiah jepang dari bank-bank tersebut.

NICA menggunakan Rupiah jepang untuk membiayai operasi militer mereka, membayar gaji pegawai pribumi, dan mengedarkan uang tersebut ke seluruh Indonesia guna menarik simpati masyarakat. NICA juga mengedarkan Hindia Belanda baru yang dikenal sebagai uang NICA. Itu semua memperparah kondisi keuangan Indonesia.

Di wilayah Republik Indonesia, Pemerintah Indonesia tak dapat segera mencetak mata uang sendiri, karena keterbatasan dana dan tenaga ahli. Untuk mengatasinya, berdasarkan Maklumat 3 Oktober 1945, mata uang yang beredar sampai dengan masa pendudukan Jepang diakui sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Sebelumnya, pada 2 Oktober 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang menyatakan bahwa mata uang NICA tidak berlaku lagi di wilayah Republik Indonesia.

Desakan untuk mencetak uang sendiri mulai bermunculan. Pemerintahan menerbitkan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang mulai diedarkan pada Oktober 1946. Situasi keamanan yang tidak menentu membuat peredaran ORI tersendat-sendat. ORI tetap diedarkan secara gerilya dan terbukti mampu membangkitkan rasa solidaritas serta nasionalisme rakyat Indonesia.

Namun, untuk mengedarkan mata uang ini pun penuh dengan sejarah yang begitu pelik. Hingga, mata uang ORI ini sempat ditarik dari peredaran dan diganti menjadi uang federal atau rupiah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Namun, setelah bangsa ini berhasil kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akhirnya mata uang RIS tadi diganti permanen menjadi rupiah atau yang disingkat Rp. Penetapan rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia dipatenkan dalam Undang-Undang Mata Uang 1951.

Bank Indonesia Berdiri

Tak lama setelah diterbitkannya beleid itu, tepatnya pada Desember 1951, Bank Hindia Belanda, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan UU No. 11 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia dimana Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.

Setelah Bank Indonesia berdiri pada tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5. Sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp 5 ke atas.

Kemudian, hak tunggal mengeluarkan uang kertas dan uang logam rupiah diserahkan sepenuhnya kepada Bank Indonesia sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968. Sebab, pencetakan uang oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.

Barulah setelah itu proses pencetakan uang hanya dilakukan oleh BI, dan proses pencetakan uang ini masih terus dilakukan hingga saat ini. Bahkan yang terbaru, bertepatan dengan perayaan HUT ke-77 Kemerdekaan RI, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas baru tahun emisi 2022 (TE 2022).

Bank Indonesia merilis tujuh pecahan uang baru pada hari ini, Kamis (18/8/2022). Uang baru ini terdiri atas pecahan uang Rupiah kertas Rp100.000, Rp50.000, Rp20.000, Rp10.000, Rp5.000, Rp2.000, dan Rp1.000.

Berbeda dengan uang kertas yang sudah dikeluarkan sebelum-sebelumnya, terdapat tiga aspek inovasi penguatan Uang TE 2022 yaitu desain warna yang lebih tajam, unsur pengaman yang lebih andal, dan ketahanan bahan uang yang lebih baik.

Meski demikian design uang baru sendiri tetap mempertahankan gambar utama pahlawan nasional pada bagian depan, serta tema kebudayaan Indonesia (gambar tarian, pemandangan alam, dan flora) pada bagian belakang sebagaimana Uang TE 2016.

(fdl/fdl)

Hide Ads