Jakarta -
Beberapa tahun terakhir sempat ramai terkait wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah. Jadi akan ada pemangkasan angka nol, sehingga terlihat lebih ringkas.
Wacana ini sebenarnya muncul saat Darmin Nasution menjabat sebagai Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI) yaitu sekitar tahun 2010 lalu.
Saat itu Darmin menyebut kan menyelesaikan studi dan kajian redenominasi. Setelahnya sosialisasi akan dilakukan pada awal 2011.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Darmin saat itu menyebut jika studi akan dibicarakan dengan pemerintah. Kala itu bank sentral sudah menargetkan jika proses lancar maka redenominasi akan tuntas pada 2022. Hal ini karena proses di berbagai negara memakan waktu 10 tahun.
Namun hingga masa jabatan Darmin habis pada 2013, wacana itu tak lagi ramai. Empat tahun kemudian, saat Agus Martowardojo menjabat Gubernur BI dia kembali menghidupkan wacana tersebut.
Hingga akhir dia menjabat redenominasi juga tak masuk Prolegnas. Namun wacana redenominasi rupiah kembali muncul dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Di PMK tersebut, penyederhanaan nominal rupiah masuk dalam salah satu RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Hingga kini, Gubernur BI dijabat oleh Perry Warjiyo. Pada 2018 lalu, usai Paripurna penetapan dirinya sebagai pimpinan bank sentral, dia menyebut jika BI sudah merumuskan dan menyampaikan ke pemerintah terkait redenominasi.
Jadi bagaimana nasib redenominasi? Lihat di halaman berikutnya.
Dalam konferensi pers Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Perry kembali menyampaikan terkait redenominasi. Dia menyebut bahkan ISEI sudah mengkaji pandangan terkait pemotongan angka nol pada rupiah ini.
Perry menyebutkan manfaat redenominasi adalah efisiensi sehingga menjadi lebih cepat. Namun memang, sebelum redenominasi ini dijalankan, kondisi perekonomian harus normal dan stabil. Jangan saat krisis dijalankan.
Sinyal Redenominasi di Uang Kertas Baru?
Uang rupiah kertas yang baru saja diterbitkan oleh Bank Indonesia pada 18 Agustus lalu memiliki teknologi baru. Jika diterawang maka akan terlihat nominal pecahan, tapi tanpa tiga angka nol di belakangnya.
Contohnya uang Rp 100 ribu, jika diterawang maka yang muncul hanya 100. Apakah ini adalah sinyal redenominasi atau Rp 1.000 jadi Rp 1?
Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim menjelaskan jika itu adaah teknologi baru untuk unsur pengamanan dan warna yang bervariasi.
Dia menyebutkan itu tak ada hubungannya dengan redenominasi. "Tidak ada kaitannya dengan redenominasi," kata Marlison dikutip dari pemberitaan detikcom, ditulis Kamis (1/8/2022).
Menurut Marlison rupiah kini punya unsur pengamanan tinggi berupa electrotype atau varan tanda air atau yang lebih dikenal dengan watermark.
"Pada uang Rupiah TE sebelumnya, Electrotype berbentuk motif ornament khas Indonesia, sedangkan di TE 2022 electrotype berbentuk angka yang melambangkan nilai nominal. Jadi tiga angka nol (000) tidak dicantumkan dengan pertimbangan teknis dan untuk kemudahan identifikasi. Secara teknis karena masalah ruang yang terbatas dan untuk kemudahan identifikasi oleh masyarakat," jelas dia.
Marlison Menyebutkan jika untuk uang kertas TE 2022 ini selisih ukurannya diperbesar menjadi 5mm. Sehingga makin kecil nominal makin kecil ukurannya.
Pertimbangannya adalah BI mendapat masukan dari saudara di Pertuni agar lebih mudah mengenal jenis pecahan uang berdasarkan ukurannya.
"Walaupun sudah dibuat blind code atau pasangan garis di tepi uang yang terasa kasar dan dalam jika diraba. Ini juga untuk memudahkan kalangan tunanetra namun dirasa belum cukup," jelasnya.
Simak Video "Video: Rupiah Kembali Stabil, BI Terapkan Kebijakan Ini"
[Gambas:Video 20detik]