Judi online masih tumbuh subur di Tanah Air. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima laporan transaksi judi online mencapai Rp 155,46 triliun dari total 121 juta transaksi sepanjang 2022.
Di Twitter, sejumlah warganet yang didominasi wanita mengeluhkan suaminya kecanduan judi online hingga berujung terlilit utang. Bahkan, ada yang kerugiannya mencapai Rp 500 juta.
"Pacar saya yang sekarang jadi suami saya kecanduan judi online dari tahun 2018 sampe sekarang. Total yang sudah dikeluarkan untuk judi kurang lebih 500 juta," bunyi cuitan akun @ZAR*****.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena Apa Ini?
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, saat ini masyarakat mengarah ke kemiskinan ekstrem akibat Covid-19 dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) September kemarin.
"Kemiskinan itu yang membuat mereka mencari alternatif judi online dan pinjol," kata Trubus kapda detikcom, Selasa (18/10/2022).
Pinjol dan judi online ini, lanjut Trubus, didominasi oleh masyarakat miskin dan rentan miskin yang mengadu nasib demi bertahan hidup.
"Mereka yang paling menderita karena mereka hanya untuk bertahan hidup. Masyarakat panik dan cemas menghadapi masalah kehidupannya, bagian dari survival of the fittest," lanjutnya.
Pemerintah perlu perkuat pengawasan. Berlanjut ke halaman berikutnya.
"Sebenarnya bukan susah, pemerintah mudah sekali. Hanya saja dibutuhkan koordinasi kolaborasi. Bukan hanya Kominfo, tapi kolaborasi antar sektor. Seperti BSN (Badan Standardisasi Nasional) bisa dilibatkan. Termasuk juga dengan tokoh agama dan masyarakat dalam hal mencegah judi online itu," kata Trubus.
"Kan judi-judi itu mudah sekali merubah nama situs. Apapun namanya, selama pengawasan ketat, nggak akan terjadi. Bisa dicegah pengoperasiannya. Jadi kalau ada aktivitas yang diduga judi online bisa ditindak," lanjutnya.
Mendukung pernyataan Trubus, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tekanan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari lah yang membuat mereka mencari alternatif penghasilan. Apalagi, iklan-iklan pinjol 'bertebaran' di banyak media.
"Kalau kita lihat sekarang iklan-iklan di YouTube hampir semuanya pinjaman online dengan menyasar ke masyarakat-masyarakat kalangan bawah, yang tidak bankable, yang tidak terjangkau dengan layanan-layanan pinjaman bank. Karena kan kecil dan syaratnya kalau di bank lebih susah, lebih prudent," kata Faisal.
Menurutnya, platform pinjol ini sengaja menawarkan syarat pinjaman yang mudah demi menarik minat masyarakat menengah ke bawah dan juga generasi milenial. Oleh karena itu, Faisal mengatakan, pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menegakkan peraturan dan pengawasan.
"Enforcement-nya juga harus bagus, jadi platform-platform pinjol bukan hanya harus terdaftar, tapi yang sudah terdaftar harus betul-betul diawasi, dan edukasi kepada masyarakat untuk tidak meminjam pada lembaga atau yang berkaitan dengan pinjol itu yang tidak terdaftar OJK. Dan bukan hanya itu, karena seringkali yang sudah terdaftar terjadi kredit macet dan lain-lain," jelasnya.
Tidak hanya itu, Faisal turut menyoroti pengetahuan masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu menggencarkan edukasi kepada masyarakat.
"Hati-hati step-step-nya seperti apa, do and don't-nya seperti apa, begitu ya. Jangan mudah terbujuk, iklan-iklan nya itu yang terlalu banyak kalau menurut saya. Dan itu yang legal ya, dari YouTube, belum yang non legal, dari WA dan lain-lain," kata Faisal.