Era suku bunga rendah telah berakhir. Hal ini sejalan dengan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan bunga acuan 50 bps menjadi 5,25%.
Dengan naiknya suku bunga acuan ini, maka bank akan menaikkan bunga simpanan dan akan mengerek bunga kredit. Sehingga biaya atau cicilan akan menjadi lebih mahal.
Dikutip dari data BI disebutkan transmisi suku bunga kebijakan ke suku bunga kredit baru masih terbatas. Naiknya bunga kredit baru terjadi pada semua jenis dan tertinggi pada kredit konsumsi seperti kredit multiguna dan penyesuaian suku bunga kredit modal kerja masih relatif rendah.
BI mencatat peningkatan suku bunga dasar kredit (SBDK) per September 2022 terjadi pada kelompok bank Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN). Pada KCBA bunga naik 12 bps dan pada BUSN naik 6 bps. Lalu harga pokok dana kredit (HPDK) dalam SBDK kembai naik dan terjadi di seluruh jenis bank.
Mulai dari KCBA 8bps, Bank Pembangunan Daerah (BPD) 7 bps, BUSN 6 bps dan bank BUMN 3 bps. "Kenaikan SBDK juga didorong oleh perkembangan komponen biaya overhead (OHC) yang kembali meningkat sebesar 2 bps. Peningkatan OHC tersebut terjadi di seluruh kelompok bank sejalan dengan meningkatnya intermediasi," tulisnya, dikutip Jumat (18/11/2022).
Pada Oktober 2022, suku bunga kredit baru meningkat sebesar 25 bps (mtm) menjadi 9,19%. Peningkatan tersebut didorong oleh kenaikan suku bunga kredit baru pada kelompok BUSN 51 bps, KCBA 31 bps, dan bank BUMN 4 bps.
Sedangkan kelompok BPD belum merespons kenaikan BI7DRR dengan kenaikan suku bunga kredit baru, sebaliknya suku bunga kredit melanjutkan tren penurunan sebesar 21 bps (mtm).
Berdasarkan jenis kredit, peningkatan suku bunga kredit baru terjadi di seluruh jenis kredit dengan peningkatan tertinggi pada jenis Kredit Konsumsi (terutama Multiguna) sebesar 118 bps, diikuti oleh Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja masing-masing sebesar 107 bps dan 5 bps (mtm).
Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economics and Digital/ISED) Ryan Kiryanto menjelaskan kenaikan bunga simpanan dan kredit di perbankan karena naiknya bunga acuan merupakan hal yang wajar.
"Ini adalah respon kebijakan yang lumrah atau wajar, sesuai dengan mekanisme pasar," jelas dia.
Dia menjelaskan, langkah BI yang menaikkan BI Rate yg terukur dengan besaran hanya 50 bps di tengah momentum pertumbuhan dan indikator utama makroekonomi yang tetap terjaga dengan baik.
Dengan upaya mencapai target inflasi 2-4% di tahun ini, opsi menaikkan BI Rate kali ini sudah tepat dari segi timing dan besaran kenaikannya.
"Ini sekaligus mencerminkan sikap BI yang ahead the curve atau forward looking menyikapi dinamika internal dan eksternal. Kenaikan BI Rate kali ini pun sudah diperkirakan banyak analis dan ekonom serta pelaku pasar sehingga sebenarnya sudah price-in di pasar," ujar dia.
Pernyataan BI yg akan selalu memantau perkembangan pasar dan perekonomian global dan domestik memberikan garansi bahwa bank sentral selalu ada di pasar dan kebijakannya ahead the curve (antisipatif dan preemptive) sehingga tetap mampu menjaga kepercayaan pasar.
(kil/eds)