Saat ini terjadi kegalauan yang luas di Eropa dan Amerika tentang kondisi sistem perbankan mereka yang di ambang krisis. Sebaliknya, Rapat Dewan Komisioner Bulanan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 29 Maret 2023 menyimpukan stabilitas sektor jasa keuangan Indonesia tetap berada dalam kondisi stabil dan terjaga yang ditunjukkan dengan kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan (LJK) terus meningkat yang didukung dengan permodalan dan posisi likuiditas di level yang mencukupi alias aman.
Perkembangan ini meyakinkan kita bahwa kondisi ekonomi ke depan prospektif. Sudah menjadi keyakinan bersama kalau stabilitas lembaga keuangan terkait erat dengan kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Seperti diketahui, pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi COVID-19 sangat menggembirakan. Secara umum perkembangan ekonomi makro sudah sama dan bahkan ada yang lebih baik dibandingkan sebelum terjadinya pandemi.
Ini dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi sebelum wabah yaitu pada akhir 2019 yang sebesar 4,95% maka per akhir 2022, pertumbuhan ekonomi sudah pada 5%. Bahkan pada kuartal ketiga 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,73%.
Investasi juga tumbuh lebih tinggi yaitu 4% dari GDP dibandingkan sebelum pandemi yang hanya berkisar satu sampai dua persen. Indikator eksternal yaitu neraca perdagangan (current account) sekarang positif (sekitar 3% dari GDP) sementara sebelum pandemi defisit. Makanya sangat wajar jika kita meyakini bahwa pada tahun ini pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,3-6%.
Optimisme ini makin kuat setelah kita melihat kondisi ekonomi dan perbankan dalam kondisi dinamis dan stabil. Perkembangan industri perbankan nasional boleh dikatakan berada dalam posisi yang 'resilien' dengan risiko kredit dan risiko likuiditas yang terjaga.
Kita harus belajar dari kejadian di Amerika di mana bank sentralnya secara 'brutal' kenaikan suku bunga dengan mengabaikan kepentingan sektor yang lain sehingga berakibat terjadinya kehancuran ekonomi di sana. Makanya kita berharap agar Bank Indonesia (BI) tidak 'tersulut' untuk menaikkan suku bunga acuan mengikuti apa yang dilakukan oleh The Fed walaupun ada ancaman inflasi.
Kondisi perbankan nasional saat ini sangat menggembirakan. Sebagai sumber utama pembiayaan sekaligus salah satu komponen system keuangan yang paling penting, kesehatan perbankan nasional menjadi necessary condition bagi stabilitas ekonomi nasional.
Secara agregat, kredit perbankan mengalami kenaikan sebesar 10,64% sehingga nilainya mencapai Rp 6.375 triliun per Februari 2023. Artinya sektor perbankan masih tetap menjadi kontributor pendanaan yang cukup signifikan.
Pertubuhan penyaluran kredit pada bulan Februari 2023 secara bulanan naik 1,02%. Kenaikan ini seolah memutus siklus awal tahunan yang rutin di mana nasabah cenderung melakukan pelunasan sebagian pinjamannya.
Yang menarik adalah dari sisi penggunaan kredit dimana kredit investasi mengalami pertumbuhan tahunan sampai 13,01%. Pertumbuhan kredit investasi tinggi mencerminkan aktifitas ekonomi produktif yang dinamis dan progresif.
Dilihat dari sisi pendanaan, perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan mengalami pertumbuhan 8,18% per tahun (YOY). Pada bulan Februari ini, total dana pihak ketiga di perbankan nasional sebesar Rp 7.989 triliun. Memang ada penurunan dibandingkan posisi DPK pada Desember 2022 yang mencapai Rp 8.154 triliun. Ini fenomena tahunan yang selalu berulang di sisi pendanaan bank.
Dari sisi rasio kecukupan modal (CAR), berdasar data per Februari 2023, CAR perbankan sangat tinggi yaitu hampir 26%. Menurut standar Basel Committee yang diakui secara internasional, kecukupan modal minimal adalah 8% yang berarti CAR perbankan nasional jauh di atas standar aman.
Ini menunjukkan bahwa risiko yang dihadapi dibandingkan dengan ketersediaan modal jauh melebihi standar internasional. Tingginya rasio CAR mencerminkan kuatnya solvabilitas perbankan saat ini.
Kebangkrutan SVB berasal dari mismatch jatuh tempo dana yang berujung pada kekurangan likuiditas. Berbeda dengan yang terjadi di Amerika, dari sisi likuiditas, ada kecenderungan terjadinya kenaikan alat likuid dibandingkan dengan DPK di perbankan.
Saat ini rasio Alat Likuid dibanding DPK (AL/DPK) mencapai 29%. Artinya dari 100% DPK, hampir 30% dikelola atau diwujudkan bank dalam bentuk aset yang likuid. Secara implisit berarti risiko likuiditas perbankan cukup rendah.
Apalagi dilihat dari ketersediaan alat Liquid dengan simpanan non inti (non-core deposit) yang dikenal sebagai rasio AL/NCD mencapai hampir 130%. Dalam skenario terburuk kalau seluruh deposito non inti ini ditarik, alat likuid yang dimiliki bank melebihi kebutuhan.
Liquidity Coverage Ratio (LCR) mencapai 244%. Ini berarti bank memiliki aset likuid berkualitas tinggi hampir 2,5 kali dari total arus kas keluar bersih (net cash outflow). Artinya kondisi likuiditas aman.
Risiko kredit yang diukur dengan non performing loan (NPL) saat ini cukup terjaga. Berdasarkan data, NPL Gross perbankan nasional saat ini adalah 2,58% yang berarti jauh di bawah ketentuan maksimum 5%.
Kalau memperhitungkan dengan pencadangan yang telah dibuat, NPL Net lebih kecil yaitu 0,75%. Rasio Loan at Risk (LAR) saat ini sebesar 14% dan kalau dibandingkan Februari 2022 angkanya menurun. Artinya perbankan nasional secara umum memiliki risiko kredit yang dalam batas yang bisa diterima.
Perkembangan lain yang perlu diperhatikan adalah kredit yang direstrukturisasi sebagai akibat dari pandemi COVID-19. Saat ini jumlah kredit yang dalam kondisi restrukturisasi sebesar Rp 427,7 triliun (Januari 2023: Rp 435,75 triliun) dengan jumlah debitur yang terus turun menjadi 1,93 juta (Januari 2023: 2,02 juta nasabah).
Lanjut ke halaman berikutnya
Ini adalah kisah sukses kebijakan penanganan dampak ekonomi dari pandemi. Seperti diketahui, pada saat puncaknya, jumlah nasabah yang mendapat restrukturisasi mencapai 7,57 juta debitur dengan total nilai kredit mencapai Rp 971 triliun.
Terkait akan berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan pada Maret 2023 ini, sangat tepat kebijakan OJK yang secara selektif akan terus memberi dukungan pada kegiatan ekonomi pada segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) yang memerlukan periode restrukturisasi tambahan.
Rasionalitasnya adalah karena pemulihan kegiatan ekonomi tidak seragam. Apalagi kedalaman 'luka' akibat pandemi juga tidak seragam pada semua sektor. Pilihan untuk memperpanjang relaksasi pada seluruh sektor pada segmen UMKM, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum dan industri yang menyediakan lapangan kerja besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki sudah tepat dan melalui kajian yang komprehensif.
Hasil Pengaturan dan Pengawasan OJK
Resiliensi perbankan saat ini bukan sesuatu yang tercipta sendiri tetapi hasil proses panjang yang direncanakan melalui berbagai kebijakan yang diterbitkan OJK yang semuanya bertujuan meningkatkan daya tahan system dan institusi bank.
Salah satu peraturan OJK yang paling mendasar adalah terkait respons atas pandemi yaitu POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekononomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Virus Corona. Melalui ketentuan ini jalan tengah untuk menjembatani kepentingan debitur dan bank disediakan.
Apalagi setelah keluarnya POJK NOMOR 17/POJK.03/2021 tentang stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019. Ini merupakan penyempurnaan POJK No. 11/ POJK.03/2020. Pemulihan ekonomi yang cepat dan relatif dapat ditanganinya problem produksi dan distribusi saat pandemi sehingga pertumbuhan ekonomi hanya mengalami kontraksi 2,06% merupakan kontribusi langsung dan tidak langsung dari program restrukturiasi kredit.
Kalau membandingkan krisis karena pandemi ini dengan krisis 1998, jelas pandemi ini lebih parah karena semua terdampak. Pertumbuhan ekonomi pada krisis 1998 mengalami kontraksi 13% lebih.
Terkait dengan kondisi permodalan yang semakin kuat di perbankan nasional, semua tidak lepas dari perencanaan yang matang OJK dalam tema besar konsolidasi perbankan nasional. Ini khususnya hasil dari POJK Nomor 12 /POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang dilaksanakan secara konsisten sehingga yang tidak memenuhi ketentuan diturunkan kelasnya menjadi BPR.
Satu bank yaitu Bank Prima Master diturunkan menjadi BPR. Ini merupakan hasil dari proses panjang yang sudah dimulai sejak 2016 ketika OJK menerbitkan aturan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang diatur dalam POJK Nomor 11 /POJK.03/2016. Ketahanan system perbankan saat ini adalah buah dan sekaligus manfaatnya dari program konsolidasi perbankan yang berhasil memperkuat struktur permodalan perbankan nasional.
Memang benar sistem perbankan Indonesia memiliki pengalaman atas beragam krisis sehingga memiliki pengalaman yang cukup untuk sekedar menghadapi dampak penularan (contagion effect) kejatuhan Silicon Valley Bank hingga Credit Suisse Bank. Namun semua tidak boleh lengah dan tetap bekerja keras untuk mempertahankan stabilitas system perbankan melalui peran masing masing.
Manajemen bank sebagai nakhoda harus terus mengambil langkah konsisten untuk penguatan manajemen risiko terutama untuk antisipasi risiko yang berasal dari ekonomi global seperti gejolak harga komoditas dan perkembangan geopolitik ekonomi.
Khusus kredit yang direstrukturisasi, bank wajib melakukan langkah-langkah terutama dalam rangka mengantisipasi kejadian yang tidak terduga khususnya kondisi bisnis dan prilaku debitur restrukturisasi. Pemantauan dan edukasi beserta konsultasi untuk makin mempercepat recovery kegiatan bisnis debitur sangat penting.
Bahkan jika diperlukan bank dapat menambah kredit (top-up) kalau prospek bisnis dan sikap debitur memenuhi ketentuan teknis kredit perbankan. Sementara bagi debitur debitur besar khususnya yang terkait dengan ekonomi internasional maka asesmen risiko bisnis internasional harus terus dilakukan.
Otoritas moneter harus belajar dari Amerika. Seperti diketahui hampir semua bank di Amerika sedang berjuang untuk bisa bertahan akibat kondisi suku bunga yang tinggi sebagai akibat dari kebijakan the Fed yang sangat egois memenuhi tugasnya yaitu stabilitas harga (inflasi).
The Fed terus menaikkan suku bunga demi perang melawan inflasi tanpa memperdulikan dampak kenaikan suku bunga yang tinggi dan cepat terhadap sektor riil dan keuangan. Kegagalan bank di Amerika adalah konsekuensi tidak diinginkan (side effect) dari naiknya suku bunga yang berlebihan.
Tentu saja tanggung jawab terbesar terletak pada manajemen bank untuk mengelola banknya dengan tata kelola yang baik dan akuntabilitas yang tinggi. Semua otoritas keuangan harus mengembangkan komunikasi yang baik dengan industri dalam arti menciptakan keterbukaan komunikasi sehingga problem-problem real yang selama ini tersembunyi bisa dideteksi dan dicari solusinya.
Kerja sama baik antara industri perbankan, otoritas dan deposan menjadi kunci menjaga daya tahan perbankan nasional.
Guru Besar UHW Perbanas dan Senior Economist Segara Institute Abdul Mongid