Bank Indonesia (BI) resmi mengumumkan kenaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 0,25% menjadi 6% pada Kamis (19/10). Langkah ini dilakukan BI sejak terakhir kali melakukan penyesuaian pada Januari 2023 atau setelah ditahan delapan bulan.
Pengamat perbankan, Paul Sutaryono mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI merupakan sebuah langkah strategis. Hal ini dilakukan untuk menahan agar depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak terlalu tinggi.
"Hal itu juga sebagai langkah jitu untuk melakukan antisipasi terhadap kenaikan suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) yang diprediksi bakal naik. Kenaikan itu bertujuan untuk mencapai target inflasi AS 2%," kata Paul kepada detikcom, Jumat (20/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bank Bakal Naikkan Bunga Kredit?
Kenaikan suku bunga BI identik punya efek domino terhadap kenaikan bunga kredit perbankan, termasuk KPR, hingga bisa berujung ke peningkatan harga produk dan jasa. Meski begitu, Paul menilai kenaikan kali ini tak akan berdampak demikian.
"Mengapa? Lantaran likuiditas perbankan masih cukup tinggi," imbuhnya.
Menurutnya, hal itu tampak pada rasio alat likuid (non-core deposit) (AL/NCD) 118,50% jauh di atas ambang batas 50%. Demikian pula dengan alat likuid/DPK (AL/DPK) 26,49%, masih di atas ambang batas 10%.
Senada, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menilai, sejauh ini bank masih belum menunjukkan pergerakannya. Apalagi didukung dengan likuiditas yang terbilang masih cukup baik, ditambah dengan persaingan yang cukup ketat di industri. Meski demikian, menurutnya dampak kebijakan ini akan berbeda-beda menyesuaikan dengan sektor kredit beserta segmentasi pasarnya.
"Mungkin kebanyakan bank masih lihat dulu, wait and see. Tapi biasanya yang paling cepat money market (pinjaman dana jangka pendek) dulu kalau suku bunga naik, langsung berdampak ke situ. Banyak yang suku bunganya floating, misalnya suku bunga patokan, labour rate (upah). Jadi kalau Fed naik, kecenderungan labour rate naik, ya otomatis kredit mereka suku bunganya naik," ujar David, saat dihubungi terpisah.
Selain itu, menurutnya kenaikan ataupun penurunan suku bunga acuan belum tentu berdampak linear terhadap bunga kredit perbankan. Menurutnya, tren dalam setahun terakhir justru menunjukkan ada beberapa yang menerapkan sebaliknya. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan bagi perbankan, namun memang utamanya ialah suku bunga patokan, diimbangi dengan kondisi persaingan.
"Ada beberapa yang kecenderungan turun (bunga), misalnya KPR, persaingannya keras sekali jadi malah banyak yang menurunkan, ada promo-promo, macem-macem, yang terkait kredit konsumtif malah cenderung turun. Kredit kendaraan bermotor itu kan banyak yang promo," jelasnya.
Kapan bank respons suku bunga BI? Cek halaman berikutnya.
Bank 'Merenung' 3 Bulan
David memperkirakan, bank-bank ini akan 'merenung' hingga 1-2 bulan sebelum memutuskan akan merespons kebijakan tersebut. Apabila kenaikan bunga acuan hanya sekali, bisa saja bank hanya akan terus mempertimbangkannya. Namun bila kenaikan terus terjadi, ada kemungkinan pada akhir 2023 atau awal tahun depan bank-bank menaikkan bunganya.
"Tapi sebetulnya selama ini walaupun BI Ratenya naik sampai saat ini, kalau kita perhatikan kenaikan lending rate, modal kerja, kredit investasi, kenaikannya lebih kecil ya secara rata-rata nasional karena memang kondisi persaingan antar banknya cukup ketat," ujar David.
Senada, Paul mengatakan, perbankan bisa menghabiskan waktu hingga tiga bulan untuk merespons kenaikan suku bunga BI. Salah satunya, bank harus menghitung kembali biaya dana atau cost of fund terlebih dulu.
"Itulah sebabnya ketika suku bunga acuan BI turun, suku bunga kredit tidak serta merta turun. Tiga bulan (proses pertimbangan)," kata Paul.
Akibat Kalau BI Nggak Naikkan Suku Bunga
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, langkah ini dilakukan sebagai upaya mitigasi dalam menghadapi pelemahan rupiah. Menurutnya, ekonomi Indonesia pun kini menghadapi tekanan besar dari eksternal, utamanya, dari kekacauan geopolitik. Dengan demikian, langkah kenaikan suku bunga ini memang perlu dilakukan.
"Pelemahan rupiah masih terus berlanjut bahkan berisiko tembus Rp 16.100 per dollar AS jika tidak dilakukan langkah mitigasi," kata Bhima.
Ia menilai, kondisi pelemahan rupiah ini sampai mengancam kenaikan pada harga barang-barang impor, terutama pangan dan bahan bakar minyak (BBM). Sebut saja harga beras yang saat ini sudah naik tajam, menurutnya harganya bisa makin mahal karena harga impornya tinggi. Akhirnya, daya beli masyarakat pun bakal melemah di akhir tahun.
Di sisi lain meski BI sudah menaikkan suku bunga hingga 0,25%, tak berdampak signifikan pada imbal hasil atau yield. Bhima mengatakan, selisih imbal hasil antara surat utang AS dan SBN tenor 10 tahun hanya 3,1%.
"Kecil sekali selisihnya dengan risk free asset, akibatkan investor keluar dari pasar keuangan. Apalagi kalau Fed rate naik sekali lagi," ujarnya.