Bank Indonesia (BI) menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,25% menjadi 6%. Terakhir kali kenaikan terjadi pada Januari 2023 dari 5,5% menjadi 5,75%, artinya BI telah menahan bunga acuan dari Februari-September atau delapan bulan sebelum akhirnya dinaikkan pada Oktober.
"Dengan pembahasan secara resmi, jeli dan risiko-risiko yang akan terjadi ke depan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18 dan 19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 6%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).
Selain itu, bunga deposit facility dan lending facility juga naik menjadi 5,25% dan 6,75%. "Suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility juga naik masing-masing 25 bps menjadi 5,25% dan 6,75%," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa alasannya? Perry menjelaskan, kenaikan bunga acuan BI untuk memperkuat nilai tukar rupiah yang belakangan melemah terhadap dolar AS dan untuk memitigasi dampak terhadap inflasi.
"Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, tingginya ketidakpastian global, serta sebagai langkah forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3+-1% pada 2023 dan 2,5+-1% pada 2024," tuturnya.
Perry menyebut dinamika global terjadi sangat cepat. Berdasarkan hasil pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2023 baru-baru ini di Maroko, katanya ada lima dinamika perubahan global yang cepat salah satunya pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
"Kemungkinan dalam dua tahun ke depan 2024 dan 2025 pertumbuhan ekonomi akan melambat. Tahun depan divergensi sumber pertumbuhan antar negara masih lebar tapi baru menyempit 2025 dan 2026 itu kemungkinan akan mulai stabilizing," jelas Perry.
Kedua, tensi ketegangan geopolitik yang meningkat. Ketegangan geopolitik ini menyebabkan harga minyak dan pangan tinggi, sehingga akan memperlambat penurunan inflasi global.
Ketiga, suku bunga di negara maju termasuk Amerika Serikat (Fed Fund Rate) diperkirakan akan higher for longer hingga paruh pertama 2024. Perry memprediksi penurunan baru akan terjadi pada paruh kedua 2024.
"Maksudnya higher for longer, kami menakar ada probabilitas sekitar 40% Fed Fund Rate akan naik di Desember, tapi ketidakpastian kan tinggi, meskipun naik atau tidak itu masih akan tetap tinggi khususnya di paruh pertama tahun depan. Baru akan mulai menurun pada paruh kedua tahun depan. Jadi kemungkinan itu akan begitu," jelas Perry.
Pelemahan Rupiah Lebih Baik Dibanding Negara Lain
Perry buka suara soal nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS. Mata uang Paman Sam tersebut sempat bergerak mendekati level Rp 16.000 terhadap rupiah, atau tepatnya Rp 15.852 pada pagi (19/10) kemarin.
"Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia, termasuk nilai tukar rupiah. Dibandingkan akhir 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi yaitu di level 106,21 atau menguat 2,6% year to date dibanding akhir 2022," kata Perry.
Perry mengklaim pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih lebih baik dibandingkan mata uang lain. Rupiah disebut melemah 1,03% dalam tahun berjalan (year to date/ytd) terhadap dolar AS.
"Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh BI, nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03% year to date, relatif lebih baik dibandingkan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," tuturnya.
Berbeda dengan mata uang dunia seperti yen Jepang, dolar Australia, dan euro yang melemah masing-masing 12,44%, 6,61%, dan 1,4% year to date. Mata uang kawasan Asia seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan peso Filipina juga disebut terdepresiasi masing-masing 7,23% 4,64% dan 1,735% year to date.
Ke depan, Perry menyebut pihaknya akan terus memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Ke depan sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian harga-harga yang diimpor dari luar negeri," ucapnya.
(aid/das)