Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan pertumbuhan bank syariah masih di bawah bank umum. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar.
Mahendra menilai Indonesia mempunyai potensi mengembangkan produk-produk turunan keuangan syariah. Hal ini ditopang dari penduduk Indonesia yang sebagian besar muslim. Kendati begitu, pertumbuhan perbankan syariah masih di bawah perbankan umum.
Data OJK mencatat pertumbuhan aset Bank Umum sebesar 6,34 persen yoy pada Januari 2025 menjadi Rp 12.410,7 triliun. Pertumbuhan kredit sebesar 10,27 persen yoy menjadi Rp 7.782,2 triliun. Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tercatat tumbuh sebesar 5,51% yoy menjadi Rp 8.879,3 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, perbankan syariah Januari 2025, total aset perbankan syariah tercatat tumbuh 9,17 persen yoy menjadi sebesar Rp 948,2 triliun dengan market share tercatat senilai 7,5%. Dari sisi intermediasi, total penyaluran pembiayaan tercatat sebesar Rp 639,1 triliun atau tumbuh 9,77 persen yoy. Sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun mencapai sebesar Rp737,4 triliun atau tumbuh 9,85 persen yoy.
"Nah lagi-lagi ini pertumbuhannya perbankan syariah berada di bawah pertumbuhan perbankan secara umum. Tapi saya yakin karena persoalan yang sama. Karena masalah akses. Jadi bukan hanya masalah masing-masing bank-nya yang kurang cepat pertumbuhan. Tapi karena aksesnya kurang sehingga tentu percepatan pertumbuhannya juga menjadi kurang," kata Mahendra dalam acara Puncak Gerak Syariah, di Kantornya, Selasa (25/3/2025).
Mahendra menjelaskan kapitalisasi pasar syariah tumbuh 1,77%. Angka tersebut, menurut Mahendra, bisa dibilang kecil.
Selain itu ada 3 tantangan yang dihadapi industri perbankan syariah. Pertama, ketersediaan akses yang belum merata. Kedua, pengembangan dan diferensiasi produk perbankan syariah yang masih terbatas.
"Saya rasa memang masih kebanyakan meniru dan mengikuti pola produk keuangan konvensional. Jadi minimnya diferensiasi adalah salah satu tantangan yang kita hadapi. Berikutnya lagi adalah sumber daya insani. Ini benar-benar terasa," tambah Mahendra.
Ketiga, keterbatasan modal sehingga membatasi ekspansi bisnis. Menurut Mahendra, keterbatasan modal di perbankan lebih cepat teratasi.
"Terutama karena adanya pandat kepada OJK untuk mendorong spin-off dari UUS menjadi tentunya Bank Syariah. Nah dengan adanya seperti itu, akselerasi dari peningkatan modal yang diperlukan itu akan bisa dipercepat. Ini justru saya rasa bisa kita sedikit banyak mengatasinya," tutur Mahendra.
(rea/hns)