Bank Indonesia (BI) memutuskan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 menjadi pada rentang 4,6-5,4%. Perkiraan itu sedikit lebih rendah dari sebelumnya yang sebesar 4,7-5,5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan proyeksi yang lebih rendah ini mencermati realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 yang melambat dan sebagai dampak dinamika perekonomian global.
"Dengan realisasi PDB triwulan I 2025 dan mencermati dinamika perekonomian global, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 berada dalam kisaran 4,6-5,4%, sedikit lebih rendah dari kisaran perkiraan sebelumnya 4,7-5,5%," kata Perry dalam konferensi pers virtual Rabu (21/5/2025) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 tumbuh 4,87%, lebih rendah dari kuartal IV 2024 yang sebesar 5,02%. Pertumbuhan ini dinilai perlu didorong untuk memitigasi dampak ketidakpastian global akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu terus diperkuat sehingga dapat memitigasi dampak ketidakpastian global akibat kebijakan tarif resiprokal," ucap Perry.
Menurut Perry, pada kuartal II 2025 sejumlah indikator perekonomian mulai mengarah pada perbaikan. Hal ini didorong oleh peningkatan permintaan domestik dan kenaikan belanja pemerintah.
"Berbagai respons kebijakan perlu makin diperkuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi antara lain melalui penguatan permintaan domestik serta optimalisasi peluang peningkatan ekspor," beber Perry.
Prospek Perekonomian Global Lebih Cerah, tapi Perlu Waspada
Perry menyatakan ketidakpastian perekonomian global sebenarnya sedikit mereda. Perbaikan ini didukung oleh kesepakatan sementara antara AS dan China yang menurunkan tarif impor selama 90 hari.
Perry mengatakan kondisi perang tarif yang mereda membuat prospek pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2025 akan semakin cerah dengan pertumbuhan di level 3%, dari perkiraan sebelumnya 2,9%
"Ketidakpastian perekonomian global sedikit mereda dengan adanya kesepakatan sementara antara AS dan Tiongkok untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari. Perkembangan ini mengakibatkan lebih baiknya prospek perekonomian dunia bila dibandingkan dengan proyeksi April 2025 yaitu dari sebelumnya 2,9% menjadi 3%," kata Perry.
Sebagaimana diketahui, AS dan China sepakat berdamai dengan memangkas tarif impor sementara selama 90 hari. Produk-produk asal AS yang masuk ke China dikenakan tarif 10% dari sebelumnya 125%, sementara barang-barang dari China ke AS dikenakan tarif 30% dari sebelumnya 145%.
Meski begitu, Perry menilai perkembangan negosiasi tarif impor antara AS dengan China dan negara lainnya masih dinamis. Kondisi ini memerlukan kewaspadaan dan penguatan respons untuk menjaga ketahanan eksternal, mengendalikan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
"Ke depan perkembangan negosiasi tarif impor antara AS dengan Tiongkok dan negara-negara lain masih dinamis sehingga ketidakpastian perekonomian global tetap tinggi. Kondisi ini memerlukan kewaspadaan serta penguatan respons dan koordinasi kebijakan," beber Perry.
Simak juga Video 'Kabar Buruk dari Sri Mulyani Tentang Ekonomi Global':
(aid/fdl)