Heboh Payment ID yang Disebut Bisa Intip Transaksi Masyarakat

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 11 Agu 2025 07:00 WIB
Ilustrasi - Foto: Shutterstock
Jakarta -

Masyarakat dihebohkan dengan rencana kemunculan Payment ID oleh Bank Indonesia (BI). Ini adalah sebuah sistem dengan kode unik yang digunakan untuk mencatat setiap transaksi pembayaran, dengan format yang menggabungkan NIK dan kode ID.

Singkatnya, sistem ini dapat membuat BI bisa mengintip data transaksi keuangan masyarakat. Sistem ini menjadi bagian dari rencana dalam pengembangan sistem pembayaran nasional melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030.

Payment ID rencananya akan diluncurkan pada 17 Agustus 2025. Hal ini diungkapkan langsung oleh Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Dudi Dermawan.

"17 Agustus nanti akan keluar yang namanya Payment ID. Payment ID ini sangat powerful," ujar Budi dikutip dari CNBC Indonesia.

Sistem tersebut akan memberi otoritas kepada BI berupa kemampuan untuk melihat dan menganalisis profil keuangan setiap warga negara. Ini termasuk pendapatan dan belanjanya serta profil pajak dan investasinya.

Lebih jauh, sistem ini juga akan berguna dalam mendeteksi penipuan atau kecurangan keuangan (fraud). Bahkan, seluruh informasi dari berbagai akun bank atau platform keuangan yang dimiliki satu orang dapat disatukan dalam Payment ID.

Dengan adanya Payment ID, bank juga dapat melakukan pengecekan kredit secara langsung. Misalnya, Bapak A mengajukan kredit ke Bank B, karena semua profil keuangan calon debitur ada di Payment ID, nantinya pihak bank tinggal mengirimkan pesan berisi pengajuan 'consent' di ponsel debitur.

Data keuangan yang muncul akan sangat lengkap, termasuk informasi dari e-wallet atau layanan pembayaran digital. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan layanan seperti GoPay, Shopeepay, dan OVO juga meminta NIK saat pendaftaran.

Masyarakat Heboh dan Khawatir

Rencana kemunculan Payment ID pun membuat heboh. Di jagat maya X, banyak pihak yang mempertanyakan kemunculan Payment ID kaitannya dengan privasi keuangan hingga pajak.

"17 Agustus 2025. BI akan meluncurkan Payment ID. Hal ini sangat parah... Nggak ada privasi data keuangan.. Mereka (Pemerintah) bisa melihat asset kita di mana," cuit akun @ba******yu dilihat Minggu (10/8/2025).

"Pemerintah selalu selangkah ke depan tiap urusan penarikan pajak. Tapi urusan yang lain malah ribuan langkah di belakang. Mending mengurusi pungli dulu tuh, biar sistem ekonomi dan investasi Indonesia membaik," tulis akun @Le***********un.

Beberapa pihak juga ragu program Payment ID dapat berjalan dengan baik. Sebab, selama ini pemerintah dinilai gagap dalam urusan data dan digitalisasi pelayanan. Sistem Payment ID pun disebut-sebut bisa menimbulkan banyak masalah macam Core Tax yang diluncurkan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.

"Jangan buru2 takut guys. ingat ini Indonesia, bikin program beginian kayak yakin benar-benar sudah siap aja datanya bakal sinkron semua. selama kita ngurus apa2 masih diminta copy KTP atau KK jangan berharap program beginian bisa jalan mulus. Coretax yg kemarin- kemarin aja zonk," tulis akun @ma***of.

Pegiat perlindungan konsumen dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi juga mengamini masyarakat sebagai konsumen di Indonesia memang mulai resah dengan instrumen Payment ID yang mau diluncurkan.

Dia menilai dengan instrumen Payment ID ini, Bank Indonesia akan mengontrol atau mendeteksi seluruh lalu lintas transaksi dan pembayaran masyarakat, baik transaksi via perbankan, e-wallet, e-commerce, dan lain-lain.

"Dengan instrumen Payment ID ini, Bank Indonesia akan menelanjangi seluruh lalu lintas transaksi perbankan dan dompet digital, tersebab semua transaksi itu akan terhubung dengan NIK masing-masing individu," kata Tulus Abadi dalam keterangannya.

Instrumen Payment ID juga dinilai berpotensi besar menabrak hak-hak warga negara, baik pada konteks pelanggaran rahasia perbankan, melanggar kenyamanan dan keamanan konsumen dalam bertransaksi, dan bahkan melanggar data pribadi nasabah.

"Dalam hal ini Bank Indonesia terlalu dalam memasuki ranah privat warga negara, dan oleh karena itu berpotensi melanggar hak asasi warga negara," lanjut Tulus.

Instrumen Payment ID patut diduga hanya dijadikan instrumen untuk menggenjot pendapatan pajak, namun ironisnya dengan mengorbankan hak asasi warga negara. Tulus melanjutkan instrumen macam Payment ID juga belum menjadi standar kebijakan internasional. Tercatat sejauh ini cuma 5 negara saja yang menerapkan hal serupa seperti Singapura, Swedia, India, Brasil, dan China.

Dia pun menyarankan agar Bank Indonesia jangan gegabah menerapkan instrumen Payment ID, hanya karena ingin menggali pendapatan pajak negara. Jika terkait penggalian potensi pendapatan pajak, pemerintah seharusnya bisa menyasar dari potensi pendapatan pajak dari pembayar pajak kelas kakap, baik untuk level korporasi, maupun kalangan kelas kakap individual.

"Bank Indonesia sebaiknya mengurungkan untuk menerapkan Payment ID tersebut. Instrumen ini hanya akan menggerus kepercayaan masyarakat di sektor perbankan dan berpotensi menggerus transaksi digital. Keberlanjutan ekonomi digital pun terancam, dan klimaksnya masyarakat dan bahkan negara justru dirugikan," pungkas Tulus.

Lihat juga Video: Mengenal Payment ID yang Bakal Diuji Coba BI pada 17 Agustus




(hal/kil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork