Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian buka suara terkait perbedaan data simpanan dana pemerintah daerah (Pemda) di perbankan. Tercatat, setidaknya ada selisih sebesar Rp 18 triliun antara data dana Pemda milik Bank Indonesia (BI) dengan data Kementerian yang dipimpinnya.
Dalam data dana Pemda di BI, hingga 30 September anggaran daerah yang masih tersimpan di perbankan mencapai Rp 233,97 triliun. Namun, angka tersebut berbeda dengan data dari 546 Pemda yang disampaikan kepada Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, di mana hingga 17 Oktober dana Pemda di rekening kas daerah mencapai Rp 215 triliun.
Dalam hal ini, Tito menjelaskan terdapat perbedaan waktu dalam penyampaian data simpanan Pemda ini. Menurutnya data simpanan Pemda di perbankan bersifat dinamis dari waktu ke waktu, sehingga perbedaan waktu saat data disampaikan memengaruhi besarannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai contoh di Jawa Barat, dalam data milik BI nilai APBD yang mengendap di perbankan sebesar Rp 4,1 triliun. Dana ini terbagi menjadi Rp 3,8 triliun merupakan dana Provinsi dan sisanya Rp 300 miliar adalah dana milik Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), seperti rumah sakit dan lainnya.
Padahal menurutnya saat ini sisa uang Pemda Jawa Barat yang tersimpan di perbankan saat ini sebanyak Rp 2,7 triliun. Sebab sebagian dana sudah dibelanjakan Pemda.
"Ada beda waktu. Jadi beda waktu antara sumber dari bank sentral, Bank Indonesia, seperti Jawa Barat itu ya. Itu beda waktunya yang terbaca Rp 4,1 triliun. Rp 3,8 triliun adalah dananya provinsi, Pemda Jawa Barat, dan Rp 300 miliarnya adalah punya BLUD," terang Tito saat ditemui wartawan di acara Festival Ekonomi Digital Indonesia (FEKDI) dan IFSE 2025, di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (31/10/2025).
"Itu data itu data 31 Agustus-September, dan kemudian yang sekarang Gubernur Jawa Barat dan Kemendagri menunjukkan itu angkanya Rp 2,7 triliun. Jadi, otomatis beda karena waktunya berbeda, uangnya sudah terbelanjakan sebagian," paparnya lagi.
"Jadi otomatis beda karena waktunya berbeda, uangnya sudah terbelanjakan sebagian. Sama dengan dari Bapak Menkeu menyampaikan Rp 2,33 triliun dari informasi dari BI, bank sentral. Itu timingnya Agustus, September. Sementara yang di data yang di Kemendagri Rp 2,15 triliun karena Rp 18 triliun sudah terpakai oleh daerah-daerah ini," jelas Tito.
Begitu juga dengan kasus saat Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengkritik penumpukan kas pemerintah daerah (Pemda) di perbankan yang mencapai Rp 233,97 triliun per September 2025. Padahal saat ini sisa dana Pemda yang masih mengendap di perbankan sudah turun hingga Rp 18 triliun.
Sama dengan dari Bapak Menkeu menyampaikan Rp 233 triliun dari informasi dari BI, bank sentral, itu timingnya Agustus-September. Sementara yang di data yang di Kemendagri Rp 215 triliun karena sudah terpakai oleh daerah-daerah ini," jelasnya.
"Jangan salah ya, jumlah daerah itu kan jumlahnya 512. Ada 38 Provinsi, 98 Kota, dan 416 Kabupaten. Jadi, Rp 18 triliun dalam waktu satu bulan berbeda itu sangat mungkin sekali," sambungnya.
Selain itu, Tito juga menemukan adanya kesalahan input oleh bank pembangunan daerah (BPD). Kesalahan input data inilah yang kemudian membuat laporan dana Pemda yang tersimpan di bank jadi berantakan. Kasus serupa juga banyak ditemukan di beberapa daerah lainnya.
"Misalnya di Kota Banjarbaru. di situ disebut pada waktu di-expose Rp 5,1 triliun. Nah, setelah kita telusuri di Bank Indonesia masuk Rp 5,1 triliun di daerahnya. Kita cek, nggak segitu mereka, anggarannya saja Rp 1,6 triliun APBD, sisa Rp 800 miliar, kok bisa? Rupanya peng-inputnya, yaitu BPD, Bank Pembangunan Daerah Kalses meng-input Rp 5,1 itu simpanannya provinsi, dimasukkan sebagai simpanannya, dilaporkan sebagai simpanannya Kota Banjar Baru. Otomatis di BI tercatat punya Kota Banjar Baru," paparnya.
Lihat juga Video: Silang Pendapat Purbaya & KDM soal Duit Triliunan Ngendap di Bank








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 