Sebuah pernyataan menarik hadir di ruang publik baru-baru ini. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa berdasarkan data dari Bank Indonesia, cukup banyak ditemukan rekening Pemerintah Daerah (Pemda) yang tidak dikelola dengan baik karena hanya mengendap saja di bank umum atau bank daerah (cnbcindonesia.com, 23/10/2025).
Beberapa kepala daerah seperti kebakaran jenggot dan bereaksi atas penyataan Menteri Keuangan. Ada kepala daerah yang bahkan menyatakan di ruang publik bahwa kas daerahnya sekian triliun lalu disimpan pada deposito bank dan daerah bisa mendapatkan imbal bunga sekian miliar per bulan (news.detik.com, 22/10/2025).
Angka-angka yang seolah menjadi sebuah "keuntungan" bagi Pemda, namun sejatinya tidak sepenuhnya demikian jika ditilik pada perspektif ekonomi.
Kita tidak sedang pada konteks untuk siapa imbal bunga hasil deposito itu, tapi lebih pada konteks sebaiknya diapakan kas daerah yang sebegitu banyaknya itu, dalam upaya untuk memberikan kebermanfaatan serta dampak nyata bagi rakyat atau masyarakat di daerah.
Ini tentang bagaimana sebaiknya kas daerah "diputar" pada roda ekonomi, bukan dibiarkan mengendap walaupun menghasilkan uang pula dari imbal hasil deposito di bank.
Kas daerah tentunya merupakan bagian dari anggaran pemerintah yang tujuannya adalah untuk memutar roda ekonomi di daerah. Coba kita telaah dengan bahasa bayi -sebuah istilah popular saat ini-. Kas daerah adalah salah satu komponen dalam APBD.
Pengelolaan kas daerah tentu menjadi bagian penting dari bagaimana Pemda bisa memanfaatkan ketersediaan kas yang ada untuk membiayai belanja pemerintah daerah, mulai dari belanja pegawai, belanja barang, dan tentunya belanja modal.
Pada konteks belanja pegawai dan belanja barang mungkin anggaran memang sudah tersedia secara lebih prudent, dimana anggaran akan selalu tersedia, siap dibelanjakan/dicairkan setiap bulannya.
Bagaimana dengan belanja modal? Pada konteks ini, belanja modal sejatinya memiliki peran yang signifikan pada berputarnya roda ekonomi di daerah.
Sebuah penelitian dari Rahmadi dan Syafri (2014), menyatakan bahwa peningkatan belanja modal Pemda dapat berdampak positif pada peningkatan PAD daerah tersebut. Senada dengan hal itu, Juwita dan Hasbi (2025) juga menyatakan bahwa belanja modal Pemda memiliki korelasi positif pada kinerja keuangan daerah.
Belanja modal Pemda, tidak hanya dilihat sebagai poin bagaimana Pemda membangun atau membeli asset baru, gedung, peralatan dan mesin, irigasi, jembatan, jalan, dan sebagainya. Yang perlu dilihat juga pada konteks ini adalah bagaimana ketika belanja modal itu dialokasikan, lalu dieksekusi anggarannya (dibelanjakan/dicairkan), maka ada aktivitas ekonomi masyarakat yang ikut bergerak di sana.
Tidak hanya para kontraktor besar yang dapat untung dari proyek-proyek pemerintah, namun perlu juga ditengok bahwa para pekerja proyek itu juga adalah rakyat yang akan memperoleh penghasilan dari berjalannya proyek-proyek pemerintah. Belum lagi jika kita lihat ketika ada pembangunan gedung misalnya, kemudian muncul beberapa pedagang kecil yang ikut ketiban rezeki di sekitar proyek yang berjalan itu.
Maka, ketika kas daerah banyak yang mengendap di bank, dapat dianalogikan bahwa pembangunan sedang berhenti, atau setidaknya berjalan lamban.
Padahal, kas daerah itu bisa dimanfaatkan sebagai motor penggerak roda ekonomi rakyat, misalnya melalui program dan kegiatan padat karya, pemberdayaan UMKM dengan pemberian kemudahan akses pembiayaan, dan banyak lagi. Tinggal bagaimana kreativitas dan inovasi dari aparatur Pemda untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat di wilayahnya.
Konteks dan contoh sederhana ini mungkin idealnya dapat menjadi perenungan bagi para pimpinan daerah, bahwa belanja modal di APBD adalah bagian penting dari cara pemerintah daerah untuk "berbagi kue" dengan rakyatnya. Rakyat selaku penikmat dari pelayanan publik tentu juga sudah sepatutnya mendapatkan "jatah" lain dari berputarnya roda ekonomi yang dimotori oleh anggaran pemerintah, baik APBN maupun APBD.
Tentu saja, perspektif prioritas pelayanan publik, kebermanfaatan anggaran daerah untuk kepentingan masyarakat (bukan untuk kepentingan tertentu), dan tujuan serta niat baik yang sesuai regulasi dalam mengelola kas daerah perlu ditingkatkan skalanya bagi para pimpinan dan aparatur daerah.
Kita tidak menyatakan bahwa beliau para pimpinan dan aparatur daerah tidak atau kurang mampu dalam mengelola anggaran atau kas daerah. Hanya saja sebagai rakyat, sebagai masyarakat, ada baiknya kita urun rembug mengenai potensi pemanfaatan kas atau anggaran daerah untuk meningkatkan dampak nyata dari pembangunan di daerah yang dimotori oleh APBN dan APBD.
Disclaimer: tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja.
Tonton juga video "Indonesia Buka Keran Ekonomi Karbon di COP30, Janjikan Peluang Besar"
(hns/hns)