Perubahan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 di Tahun 2009

Perubahan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 di Tahun 2009

- detikFinance
Rabu, 04 Feb 2009 10:25 WIB
Jakarta - Pada Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) yang akan mulai berlaku 1 Januari 2009 terdapat beberapa perubahan dalam hal Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku sekarang.

Perubahan Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 adalah mengenai:
  • Pembedaan tarif pemotongan/pemungutan
  • Saat Terutang
  • Perluasan Objek PPh Pasal 22
  • Perubahan tarif PPh Pasal 23
  • Penegasan dan Perluasan Objek PPh Pasal 26.

PPh Pasal 22 adalah salah satu bentuk pemotongan dan pemungutan PPh yang dilakukan oleh fihak lain terhadap Wajib Pajak. Pada umumnya pengenaan PPh Pasal 22 ini dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap menguntungkan sehingga penjual atau pembelinya kemungkinan besar akan mengalami keuntungan. Berikut ketentuan baru yang mengatur tentang PPh Pasal 22, yang berlaku mulai 1 Januari 2009.

Berdasarkan peraturan yang terbaru, ada beberapa pihak yang menjadi pemungut atas PPh Pasal 22, yakni:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat Pusat ataupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;

3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;

4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN; Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;

5. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.

6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

7. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(http://www.pb-co.com/pdf/regulations/PMK%20210-PMK03-2008.pdf)

Atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, terutang PPh Pasal 22 sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN, bagi WP yang tidak ber-NPWP akan dipungut PPh 22 dengan tariff 2x lipat (lebih tinggi 100%) yaitu sebesar 10%.
  1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 milyar;
  2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10 milyar;
  3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10  miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m2
  4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10 milyar  dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2
  5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle  (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 milyar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Dengan diterbitkannya PMK Nomor 244/PMK.03/2008 sebagai juklak dari UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009. Maka objek dan besaran tarif untuk Pasal 23 menyesuaikan dengan ketentuan tersebut. Ketentuan ini cenderung memaksa WP untuk memiliki NPWP kecuali bila yang bersangkutan memilih dipotong lebih tinggi.

Berkut adalah ringkasannya, atas penghasilan dari :
1. Dividen, bunga, royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final pasal 4 (2), terutang PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto, atau 30% dari jumlah bruto bagi tidak ber-NPWP.

2. Atas Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, atau 4% bagi yang tidak berNPWP. Ketentuan mengenai jasa lain silahkan buka (http://www.pb-co.com/pdf/regulations/244-PMK03-2008.pdf)

Dan penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 adalah :

a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) UU PPh;
d. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh;
e.  sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang terdiri dari :
  1. Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan
  2. BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaga mikro, menengah dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Madani. (Penjelasan lebih lanjut silahkan buka http://www.pb-co.com/pdf/regulations/PMK%20251-PMK03-2008.pdf)

(pbc/qom)

Hide Ads