Ya, lagi-lagi prinsip purba ini perlu diingatkan kepada para investor lantaran dinilai banyak investor yang malas membaca kontrak perjanjian dan asal main tanda tangan saja. Padahal, entah dari pendidikan keluarga atau pendidikan di sekolah semasa kecil dulu, pasti semua orang pernah mendengar pepatah 'Teliti sebelum membeli'.
"Ini bukannya menyalahkan investor. Namun terkadang investor cuma mengejar selisih bunga tanpa memperhatikan isi kontrak. Ini lah yang sering menimbulkan masalah dalam kontrak derivatif," ujar pengamat ekonomi INDEF, Aviliani dalam paparan di Sarinah, Jakarta, Senin (6/4/2009).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya lihat, sejauh ini pihak bank sebagai pemberi fasilitas derivatif sudah sangat taat peraturan. Namun memang terkadang menimbulkan sejumlah masalah yang menurut saya disebabkan oleh beberapa faktor," ujar Aviliani.
Aviliani mengatakan, faktor yang paling utama berpotensi menyebabkan masalah derivatif adalah kurangnya pengetahuan investor mengenai investasi di produk derivatif. Menurutnya, investor terkadang lupa bahwa investasi selalu memiliki risiko.
"Kebanyakan investor berpikir investasi itu selalu aman dan tidak ada risiko. Padahal salah satu prinsip utama investasi adalah selalu adanya risiko investasi. Biasanya, akibat pola pikir ini, ketika investasi mereka rugi, muncul lah keributan. Banknya lah yang disalahkan dan sebagainya. Padahal kalau dilihat, bank sudah sangat taat peraturan kok," papar Aviliani.
Kendati demikian, Aviliani tetap menyatakan adanya kemungkinan tim marketing bank pemberi fasilitas derivatif melakukan strategi pengemasan penjualan produk derivatifnya dengan sangat halus, sehingga berhasil menggaet investor-investor untuk membeli produk mereka tanpa melakukan penjelasan lebih dalam soal produk yang mereka jual.
"Kalau ini yang terjadi dan nasabah sudah tanda tangan, pihak bank tidak berada di posisi yang salah. Oleh sebab itu, sangat penting investor berperan aktif sebelum menandatangani kontrak perjanjian. Kalau perlu investor menanyakan segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi," papar Aviliani.
Terlebih, lanjut Aviliani, investor harus menanyakan underlying tempat dana mereka akan ditempatkan nanti. Menurutnya, ini sangat penting mengingat banyak kontrak derivatif yang seolah memberikan janji tingkat pengembalian (return) yang mustahil.
"Ada beberapa kasus dimana suatu produk derivatif menawarkan return hingga 30%. Ini kan mustahil. Investor harus tahu kemana dana mereka ditempatkan nanti. Investor wajib menanyakan underlying produk derivatif yang mereka beli," ujar Aviliani.
Aviliani mengatakan, penawaran return yang sangat tinggi seperti ia sebutkan di atas, biasanya terjadi pada produk-produk derivatif yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga non bank.
"Perkembangan produk-produk derivatif memang sangat cepat, bahkan melampaui kecepatan adaptasi regulasi yang mengatur soal itu. Saya lihat perbankan sudah cukup hati-hati dalam mengikuti perkembangan derivatif. Namun yang perlu diwaspadai adalah produk-produk derivatif yang diterbitkan oleh lembaga non bank, karena pengawasannya lebih longgar," jelas Aviliani.
Aviliani mengatakan, pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap lembaga perbankan di produk derivatif sudah cukup ketat. Hal ini terbukti dengan adanya pelarangan bank menjual produk derivatif yang bersifat spekulatif pada Desember 2008.
"Tindakan BI sudah sangat tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk," ujarnya.
Namun untuk produk-produkk derivatif yang diterbitkan oleh lembaga non bank dinilai masih kurang pengawasan. Menurut Chief Economist Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa, Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kurang awas dalam memantau perkembagan produk-produk derivatif di lembaga-lembaga non bank.
"Bapepam harusnya bisa lebih ketat dalam mengawasi produk-produk derivatif. BI sudah cukup preventif. Namun Bapepam cenderung pasif dalam mengawasi transaksi derivatif di pasar modal," ujar Purbaya.
Kalau sudah begini, maka satu-satunya investor 'selamat' dari potensi kerugian derivatif adalah investor berperan aktif dalam mencermati investasi yang akan dilakukannya sebelum melakukan tanda tangan kontrak perjanjian.
Sebagaimana diimbau Aviliani, investor wajib menanyakan segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dalam investasi di produk yang akan mereka beli. Jangan lupa juga, menanyakan underlying investasi mereka akan
ditempatkan dimana nantinya oleh lembaga pemberi fasilitas derivatif.
Dengan cara ini, diharapkan investor bisa lebih awas terhadap investasinya, ketimbang sekedar mengetahui tingkat return yang akan mereka pulih dan asal tanda tangan kontrak saja.
(dro/ir)