"Indonesia Property Watch (IPW) menilai bahwa program pembangunan rusunami untuk kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ini termasuk dalam kebijakan kementerian perumahan rakyat yang gagal," kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dalam situs IPW, Selasa (2/4/2013)
Ia mengatakan sampai saat ini program tersebut seperti dibiarkan berjalan tanpa nahkoda dan tanpa arah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya program 1.000 tower digelontorkan tanpa perencanaan yang matang serta kajian yang mendalam terhadap dampak yang akan terjadi. Padahal awalnya program rusunami ini begitu diminati oleh pengembang pada kisaran tahun 2007, namun demikian memasuki tahun 2009 hampir dipastikan tidak ada lagi pengembang baru yang berminat membangun rusunami lagi.
"Bila kita kilas balik yang terjadi ketika program ini dicanangkan adalah potensi peningkatan koefisien lantai bangunan (KLB) yang bisa mencapai 6 bila pengembang mau membangun rusunami subsidi," katanya.
Ali mencontohkan jika ada lahan 10.000 m2 dengan KLB 3 misalkan, maka luas bangunan yang bisa dibangun adalah 3 x 10.0000 m2 = 30.000 m2. Dengan diajukannya pengembangan sebagai rusunami subsidi, maka dimungkinkan peningkatan KLB menjadi 6 atau menjadi 60.000 m2 untuk luas yang bisa dibangun.
"Artinya pengembang akan mendapatkan 'bonus luas' keuntungan seluas 30.000 m2. Hal ini akan wajar mengingat motif pengembang sebagai pengusaha asalkan kebijakan yang ada mendukung," katanya.
Ia menuturkan ketika banyaknya proyek rusunami subsidi yang diajukan pengembang ternyata tidak ada kebijakan yang membatasi berapa banyak rusunami subsidi yang harus dibangun. Sehingga engembang tidak diharuskan membangun rusunami dalam prosentase tertentu dalam satu tower.
"Yang terjadi adalah pengembang akan menjadikan rusunami subsidi hanya sebagai 'pelengkap' untuk bisa membangun rusunami yang nantinya akan dijual sebagai rusun non subsidi dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditentukan dengan alasan melakukan subsidi silang agar pengembang tidak merugi," katanya.
Ali mengungkapkan pasca adanya penyegelan proyek Kalibata City beberapa tahun lalu oleh Pemda DKI Jakarta yang membangun rusunami subsidi dengan alasan bahwa KLB tidak boleh lebih dari 3,5 maka mulai banyak pengembang yang tidak tertarik untuk membangun rusunami subsidi karena ‘bonus keuntungan luas’ tidak lagi menarik untuk pengembang.
"Hal ini juga menggambarkan bahwa buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga kebijakan KLB 6 yang ditetapkan pusat ternyata dengan mudah dipatahkan oleh pemerintah daerah sebagai ‘penguasa’ setempat," jelas Ali.
(hen/dnl)