Demikian dikatakan Direktur Indonesia Property Watch Ali Tranghanda kepada detikFinance, di Jakarta, Senin (7/5/2013).
Ali mengatakan, pernyataan Bank Dunia soal akan terjadinya bubble di Indonesia terlalu mengada-ada. Menurutnya, pasar properti Indonesia memang mengalami kenaikan yang signifikan dalam 3 tahun terakhir. Pembangunan proyek-proyek properti melejit beberapa tahun terakhir. Namun demikian yang terjadi bukanlah bubble melainkan over value.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ali menjelaskan, yang terpenting yang membedakan pasar properti Indonesia dengan pasar properti di negara lain adalah bahwa pasar properti Indonesia didominasi oleh pasar lokal yang kuat.
Berbeda dengan pasar Singapura, China, dan Vietnam serta negera-negara tetangga lain yang mengalami bubble karena pasar properti lebih banyak dikuasai oleh asing sehingga ketika terjadi krisis di negara asalnya, maka akan terpengaruh terhadap nilai properti di negara tersebut.
Sebagai contoh, dibukanya kran investasi asing yang besar-besaran di China telah mengakibatkan dampak bubble bagi properti di negara asal. Karena patokan harga yang terjadi adalah patokan harga dengan daya beli dari luar negeri yang berlipat-lipat sehingga pasar lokal tidak dapat membeli. Inilah yang merupakan bubble sebenarnya karena rentang harga yang terjadi sangat tinggi.
Berbeda lagi dengan kasus sub-prime mortgage di Amerika yang tidak bisa disamakan dengan kasus di Indonesia dan sangat jauh berbeda karena fundamental kredit KPR di Indonesia relatif masih konvensional.
Sedangkan di Amerika pasar KPR diperjual belikan berkali-kali dalam sistem derivatif saham yang menyebabkan harga menjadi berlipat-lipat dari aslinya.
"Ketika pasar saham anjlok maka gelembung properti akan meletus dan menhantam pasar perumahan di sana," kata Ali.
(dru/dru)